Kamis, 07 Juli 2016

Ilmu kalam

Search Search... DARUN NASYA ISLAMIC BOARDING SCHOOL PONDOK PESANTREN ROJAUL HUDA - SMP - SMA DARUN NASYA LEMBANG Alamat: Kp. Pasir Handap RT.01 Rw.14 Desa Pagerwangi Kec. Lembang Kab. Bandung Barat , Info : 087743825333, 0898647012, Follow Twitter @darun_nasya  HOMEPONDOK PESANTREN BAHASA ARAB ILMU MA' DZIKIR QUR'AN WA HADITS SEJARAH DUNIA ILMU KALAM KESEHATAN KONTAK KAMI ILMU KALAM LENGKAP BAB I ARTI DISIPLIN ILMU  A. Urgensi Pemahaman Hakekat Ilmu Ilmu Kalam merupakan sebuah disiplin ilmu, yang untuk memahami dan menguasainya secara tepat, luas dan mendalam diperlukan pemahaman yang tepat, luas dan mendalam terhadap hakekat ilmu. Jujun S. Suriasumantri menegaskan bahwa untuk memahami ilmu dengan baik dan menguasainya secara mendalam guna pengembangannya, pengetahuan mengenai hakekat ilmu merupakan keharusan mutlak. Tetapi hakekat ilmu bukan masalah sederhana, melainkan problem filsafat yang justeru paling rumit dan fundamental, dan ternyata telah menimbulkan perbedaan konsep para filosof dalam aspek ontologi, epistemologi dan aksiologinya; bahkan kaum sofis menolak eksistensinya sebagai kebenaran obyektif. Ini terlihat sepanjang sejarah sejak zaman Yunani kuno hingga dewasa ini, di mana masing-masing aliran mempunyai hukum atau teorinya sendiri untuk melegitimasi dan menunjukkan keunggulannya di atas aliran lain yang bersipat apologetik atau sugestif, seperti dialektika materialisme Karl Marx dan hukum tiga tahap perkembangan Auguste Comte. Karena itu, definisi atau rumusan tentang hakekat ilmu selalu terkait dengan konsep ontologi, epistemologi dan aksiologi pembuatnya sendiri, yakni berakar pada akidah dan filsafat yang dianutnya. Karena itu pula kitab-kitab kalam dan ushul fiqh besar yang disusun sebelum kejatuhan Bagdad ke tangan Mongol pada umumnya, juga beberapa kitab ushul fiqh pada zaman modern seperti Irsyad al-Fuhul karya al-Syaukani dan Ushul al-Fiqh al-Islami karya Wahbah al-Zuhaili, bahkan kitab multidisipliner, Ihya’ ‘Ulum al-Din karya Imam al-Ghazali, diawali dengan kajian filosofis yang rasional, sistematik, radikal dan komprehensif tentang hakekat ilmu. Filsafat ilmu dari sudut fungsinya sebagai basis yang melahirkan filsafat lain dan yang menetapkan hakekat serta kriteria kebenarannya, memang merupakan filsafat yang paling fundamental sehingga sering disebut critical philosophy (filsafat kritis). Tetapi apa sumber kriteria itu sendiri, dan apa yang menjamin kebenarannya ? Di sini terjadi siklus. Di satu pihak epistemologi melahirkan dan menilai suatu corak pemahaman dan keyakinan ontologik, tetapi di pihak lain setiap pandangan dan keyakinan ontologik membawa implikasi masing-masing dalam epistemologi dan aksiologi, yakni paradigma atau weltanschauung melahirkan dan menentukan epistemologi dan teori-teori ilmiah serta etika aplikasinya. Sebagian filosof dan teolog yang memberikan kepercayaan mutlak terhadap kemampuan dan obyektivitas akal, serta kaum empirisis-positivis yang hanya percaya dan bergantung pada empiri sensual dan rasio, dan di sisi lain sama-sama ingin mempertahankan kebenaran obyektif dan obyektivitas ilmu yang bebas nilai, secara sepintas terlihat lebih berpegang pada sisi epistemologi. Tetapi kenyataannya, asumsi dasar ontologik dan teori yang dipakai sebagai paradigma merupakan masalah subyektivitas. Karena itu Popper menegaskan bahwa ilmu tidak mungkin tanpa keyakinan dalam ide yang spekulatif murni, dan ia pada setiap masa terpengaruh besar oleh ide-ide metafisis. Ewing, yang realis, pun menegaskan bahwa skeptik absolut tidak mungkin ada tanpa kontradiksi internal, sehingga seorang filosof tidak mungkin beranjak dari ex nihilo untuk membangun sesuatu, melainkan harus mempunyai asumsi dasar tertentu, khususnya tentang kebenaran prinsip-prinsip dasar logika. Karena itu Koento Wibisono menegaskan bahwa keyakinan dan perbedaan pilihan ontologik akan menentukan pendapat, bahkan keyakinan seseorang tentang apa dan bagaimana kebenaran yang hendak dicapai oleh ilmu, sekaligus mengakibatkan perbedaan sarana dan metode yang akan digunakan untuk mencapainya, yaitu empiri, rasio, intuisi, atau sarana lain. Tidak heran jika di Barat lahir empat aliran besar filsafat ilmu, yaitu positivisme, rasionalisme, fenomenologi dan realisme metafisik. Bahkan Kuhn mengajukan teori revolusi paradigmatik, yaitu bahwa perkembangan ilmu tidak ditentukan oleh akumulasi data dan informasi secara evolutif, melainkan terjadi secara revolutif setiap kali terjadinya perubahan paradigma. Secara psikologis, “… cara seseorang berpikir, bersikap, dan bertingkah laku, tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya karena keyakinan itu masuk dalam konstruksi kepribadiannya”, termasuk kepribadian filosof, teolog dan psikolog sendiri, sekalipun proses intelektual mempengaruhi juga keyakinan ontologik bersama faktor-faktor sosial, pengalaman dan kebutuhan hidup. Tetapi mereduksi semua realitas dan konsep ke dalam religious experiences tanpa memperhitungkan kebenaran obyektif dari sudut epistemologi, seperti pendirian Joachim Wach, dan kaum fideis Kristen pada umumnya, juga mengarah kepada tereduksinya ilmu ke dalam sesuatu yang berbau subyektif seperti agama, weltanschauung, paradigma atau ideologi. Tetapi bagimana pun masalahnya, fakta menunjukkan bahwa epistemologi dan seluruh produk ilmiahnya berakar pada latar ontologi atau metafisika dasar, di mana terdapat empat aliran besar, yaitu idealisme subyektif atau akosmisme di kutub atas yang menganggap hanya ada satu realitas fundamental yaitu Tuhan, roh dan segala sesuatu yang bersipat rohani, realisme ekstrim di kutub bawah yang menganggap hanya ada satu realitas fundamental yaitu materi dan segala sesuatu yang bersipat material, dualisme yang menganggap ada dua realitas fundamental yaitu Tuhan, roh dan segala sesuatu yang bersipat rohani, dan materi serta segala sesuatu yang bersipat material, dan aliran agnostisisme-relativisme absolut yang meragukan segala sesuatu seperti dari kaum sofis pada zaman Yunani kuno. Keempat aliran induk ini senantiasa ada di sepanjang sejarah sejak zaman Yunani kuno hingga dewasa ini, sehingga hukum tiga tahap perkembangan Auguste Comte tidak realistik atau positif seperti telah ditunjukkan oleh C.A. van Peursen. Begitu pula hukum dialektika materialis/historis Karl Marx, sebab, jika menurut hukum ini seluruh pemikiran manusia merupakan produk dari materi dan faktor-faktor material yang menimpa dan berdialektik padanya, maka hukum Marx itu sendiri adalah produk dari materi dan faktor-faktor material yang menimpa jasad Karl Marx dan berdialektik padanya, sehingga tidak memiliki nilai kebenaran ilmiah apa pun. Jika idealisme subyektif/akosmisme menyangkal realitas fisis dan mengandung kontradiksi internal, setidak-tidaknya kontradiksi dengan realitas dan eksistensi diri penganutnya sendiri sebagai makhluk berjasad, berbicara dan bertindak yang semua itu bersipat fisis, maka agnostisisme menyangkal seluruh realitas dan kontradiksi dengan realitas dirinya sebagai makhluk yang bereksistensi dan berkeyakinan seperti keyakinan terhadap kebenaran pendapatnya sendiri. Oleh karena itu, al-Ghazali menganggap kelompok ini sebagai pengidap penyakit psikopath yang meruntuhkan bangunan ilmu seluruhnya, dan menurut Fakhruddin al-Razi, solusi terakhir untuk menyikapinya adalah disiksa sampai mereka mengakui hissiyyat dan badihiyyat, yakni perbedaan antara adanya sakit dan tidak adanya. Islam sebagai jalan yang benar dan lurus, al-shirat al-mustaqim, berada di garis tengah (tawassuth) dalam segala hal, yang membentuk umatnya menjadi ummatn wasathan dalam segala hal, seperti antara idealisme ekstrim/akosmisme dan realisme ekstrim/materialisme, dengan ajaran dualisme islaminya yang berintikan tauhid, yaitu bahwa ada dua realitas fundamental yaitu Allah dan selain Allah, yakni seluruh alam yang merupakan makhluk-Nya, baik alam syahadah (dunia fisis), maupun alam jabarut (dunia proses mental) dan alam malakut (dunia metafisis). Keempat kawasan realitas ini merupakan obyek ilmu, sehingga empirisitas-verifiabilitas bukanlah demarkasi yang membedakan ilmu dengan lainnya seperti diajukan kaum positivis dan positivis logis yang dibantah Karl Popper, kecuali khusus untuk ilmu empirik-sensual yaitu sains. Karena itu dunia metafisis dan transmetafisis serta kajian tentangnya bukanlah “meaningless” (tidak bermakna), tapi “meaningfull and fully needed” (bermakna dan sangat dibutuhkan), dan pembatasan “meaningfullness” (kebermaknaan) pada dunia fisis itu saja disebabkan tidak lain oleh karena memang, kata al-Qur’an, " ذلك مبلغهم من العلم " (itulah puncak capaian mereka dari ilmu), sedangkan, kata Ibn Taimiyyah, " عدم العلم ليس العلم بالعدم " (ketiadaan mengetahui bukanlah mengetahui ketiadaan). Memang dunia metafisis dan transmetafisis (Realitas Mutlak) tak terjangkau oleh empiri-sensual, tetapi kesimpulan bahwa apa yang tak terjangkau oleh empiri-sensual tidak ada adalah naïf, sebab obyek-obyek rasional pun seperti makna, ilmu, hukum, teori dan lain-lain yang merupakan universal dan esensi segala sesuatu tak terjangkau oleh empiri-sensual. Secara dogmatis-psikologis, seperti menurut ulama Salaf (Sahabat dan Tabi’in), yang diikuti misalnya oleh Imam Mazhab Fiqh yang empat di abad ke-2-3 Hijri, dan Ibn Taimiyyah di abad ke-7-8 Hijri, semua orang mengakui adanya Tuhan dan hal-hal yang transendental secara sui generis (fitri), sekalipun banyak yang musyrik. Misi para rasul adalah menyampaikan kepada umatnya semua ilmu yang diterimanya dari Allah melalui wahyu, baik berupa informasi mengenai hal-hal yang transendental, yang tercakup dalam akidah Islam yang pokoknya adalah rukun iman yang enam yang berintikan tauhid Uluhiyyah, di samping mengenai dunia fisis dan dunia proses mental, maupun berupa sistem hidup yang tercakup dalam syari’ah dan akhlak Islam, baik yang mengatur hubungan dengan Allah SWT maupun dengan sesama makhluk yaitu manusia dan alam. Dengan demikian. Nabi Muhammad SAW mendapat ilmu dari Allah melalui wahyu, para Sahabat mendapat ilmu dari Nabi yang berpangkal pada iman kepadanya, kemudian para Sahabat menyebarkannya kepada Tabi’in, Tabi’in kepada Tabi’ al-Tabi’in dan seterusnya, di mana mereka menerima ilmu ini dengan iman dan paham yang mendalam. Inilah ilmu naqli, seterusnya al-‘ulum al-naqliyyah atau al-‘ulum al-syar’iyyah, yaitu ilmu-ilmu khas keislaman yang bersumberkan al-Qur’an dan al-Sunnah. Jadi, menurut perspektif Salafi, induk ilmu dan sumbernya yang pertama bagi orang beriman adalah iman kepada Allah dan Rasul-Nya, sedangkan bagi Rasul sendiri adalah wahyu yang diterimanya. Penerimaan Islam bukan beranjak dari skeptik kepada keyakinan melalui argumen-argumen rasional, melainkan beriman dengan mengikrarkan Syahadatain lebih dahulu, baru kemudian memahami lebih lanjut, baik mengenai furu’ (cabang) maupun ushul (pokok), baik tentang masa’il (masalah) maupun dala’il (dalil-dalil)-nya. Konsekuensinya, syara’ atau dalil naqli yang sahih mustahil kontradiksi dengan akal atau dalil ‘aqli yang terang, tetapi jika keduanya tampak kontradiktif, syara’ atau dalil naqli yang sahih harus didahulukan daripada akal. Metode ini bisa disebut pula metode ‘ilmi-‘amali, karena berorientasi pada ilmu sekaligus amal. Tetapi ulama Khalaf, secara dialektis mengemukakan bukti-bukti rasioanl (dalil ‘aqli) di samping dalil-dalil tekstual (dalil naqli), baik yang menunjukkan kebenaran akidah Islam, maupun yang menunjukkan kesalahan ajaran yang berlawanan seperti atheisme dan politheisme, dan paham yang menyimpang seperti bid’ah, khurafat, takhayul dan paham-paham lain yang irrasional. Dari sudut verifikasi (itsbat, tahqiq), kaum Mu’tazilah membangun ilmu Kalam sebagai ilmu Ushuluddin, yang sesudah dua abad diambil-alih dan disempurnakan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi beserta barisan dan para penerusnya, untuk menetapkan dan membuktikan kebenaran empat hal secara akademis. Pertama, akidah Rububiyyah (Ketuhanan), yaitu bahwa ada Allah dengan segala nama dan sipat atau hal-Nya, baik sipat yang wajib maupun sipat yang mustahil dan yang ja’iz pada-Nya, dan fungsi eksistensi-Nya sebagai satu-satunya Rabb, Malik dan Ilah alam semesta termasuk manusia, yang untuk mengatur kehidupan semesta, selain melakukan intervensi langsung, telah menetapkan dua macam hukum-Nya, yaitu Sunnah Kauniyyah yang bersipat eksak, obyektif dan konstan, untuk mengatur alam secara mekanik kecuali ketika terjadi khawariq li al-‘adah (hal-hal yang menyimpang dari tradisi alam) karena intervensi-Nya yang langsung atau melalui malaikat, dan Syari’at Diniyyah untuk mengatur kehidupan manusia sebagai makhluk kreatif selaku abdi sekaligus khalifah Allah di bumi. Kedua, akidah Nabawiyyah (Kenabian), khususnya kenabian/kerasulan Nabi dan Rasul terakhir Muhammad SAW dengan sipat wajib yang empat, yaitu shidq (benar), amanah (jujur), tablig (menyampaikan) dan fathanah (pandai), sipat mustahil yang empat, yaitu kazdib (bohong), khiyanat (menyalahi amanah), kitman (menyembunyikan wahyu), dan baladah (bodoh), dan sipat ja’iz yang satu yaitu a’radl basyariyyah (sipat-sipat kemanusiaan), berikut fungsi eksistensinya sebagai muballig (penyampai) sekaligus mubayyin (penjelas) al-Qur’an, yang baik al-Qur’an maupun bayan-nya yaitu al-Sunnah berwujud dalam bahasa Arab yang terang dan dapat dipahami akal, dan din al-Islam yang dikandungnya lengkap-sempurna dan berlaku universal dan eternal sampai akhir zaman, untuk ditegakkan dan diunnggulkan di atas semua sistem lainnya sebagai rahmatan li al-‘alamin (rahmat bagi seluruh alam). Ketiga, akidah Sam’iyyat, yaitu keimanan kepada alam gaib yang diberitakan Rasul, seperti malaikat, wahyu dan kitab-kitab Allah, kenabian, akhirat, qadla’-qadar dan lainnya. Keempat, masalah imamah (pemerintahan umat Islam pengganti Nabi), baik sebagai qadliyyah diniyyah (masalah keagamaan) seperti menurut kaum Syi’i, maupun sebagai qadliyyah mashlahiyyah (masalah kemaslahatan duniawi), seperti menurut kaum Sunni, sekalipun yang terakhir ini dalam mayoritas kitab kalam Sunni yang disusun pasca kejatuhan Bagdad ke tangan Mongol tahun 656 H/1258 M kurang mendapat perhatian. Puncak dan esensi itu semua, baik menurut formulasi ulama Salaf yang aslam (lebih selamat), maupun menurut formulasi ulama Khalaf yang ahkam (lebih kokoh), tersimpul dalam format Syahadatain (Dua Kesaksian), yaitu Asyhadu an la ilaha illa Allah wa Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah (Aku bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada sesuatu pun yang disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah), sebagai kalimah thayyibah (kalimat suci), kalimah munjiyah (kalimat penyelamat dari api neraka), esensi ajaran Islam dan kunci memasuki Islam. Dengan mengikrarkan Syahadatain, kita sudah menentukan pilihan ontologik memasuki rumah Islam dan sudah berada di dalamnya, di mana terdapat ilmu-ilmu khusus keislaman (al-‘ulum al-Syar’iyyah/al-Naqliyyah) seperti ilmu Kalam/Ushuluddin, ‘ulum al-Qur’an, ‘ulum al-Hadits, ilmu Ushul Fiqh, ilmu Fiqh, ilmu Akhlak/Tasawuf, ilmu Pendidikan Islam, ilmu Dakwah Islam, ilmu Bahasa dan Sastera Arab, dan sebagainya, di samping ilmu-ilmu umum (al-‘ulum al-‘Aqliyyah/Gair Syar’iyyah) yang merupakan milik bersama seluruh umat manusia. Kita berada bukan lagi di jalan dalam proses, atau dalam rumah idealisme ekstrim/akosmisme, atau rumah realisme ekstrim seperti Marxisme-Positivisme, atau pula agnostisisme-relativisme absolut seperti sofisme. Inilah identitas dan posisi muslim dengan, meminjam teori Joachim Wach, religious experiences-nya yang terekspresikan dalam pemikiran, tindakan dan persekutuannya yang berkaitan dengan ilmu-ilmu khas keislaman. Karena itu, Hujjat al-Islam al-Ghazali dalam “pengantar” kitab Ushul Fiqh-nya yang terakhir, yang disusun dua tahun sebelum wafatnya, al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, membuka kajiannya dengan statemen bahwa telah terjadi kesepakatan antara akal dan syara’ bahwa dunia, sebagai forum ujian menuju akhirat, merupakan kancah pengabdian dengan ilmu dan amal. Ilmu terbagi tiga : ilmu rasional murni (‘aqli), seperti matematika, astronomi dan lain-lain, ilmu kewahyuan murni (naqli), seperti tafsir, hadits dan lain-lain, dan ilmu kombinasi dari akal dan naql seperti ilmu Ushul Fiqh. Ia menegaskan, bahwa sebagaimana ilmu-ilmu rasional mempunyai induk, ilmu-ilmu keislaman pun mempunyai induk, yaitu ilmu Kalam. Di atas mantik atau madarik al-‘uqul, ilmu Kalam membahas sesuatu yang paling general, yaitu maujud (yang ada), untuk menetapkan akidah Rububiyyah-Uluhiyyah, kemudian Nabawiyyah, dan terakhir Sam’iyyat. Sampai di sini Kalam berhenti dan akitivitas akal mencapai puncaknya, untuk turun secara gradual menangani disiplin-disiplin spesialis. Dengan demikian, kita berangkat dari ontologi yang paling general, kemudian memasuki disiplin-disiplin spesialis secara gradual, di mana kita temukan postulat-postulat, “sebab tidak ada sebuah disiplin spesialis pun kecuali mempunyai postulat atau asumsi dasar yang dalam disiplin itu sendiri diakui secara taklid, tetapi memperoleh legitimasinya dari disiplin lain di atasnya”. Dari sudut falsifikasi (ibthal/hadam, pembatalan/penumbangan), al-Ghazali telah mendekonstruksi dan membongkar dari akarnya dua bangunan intelektual yang besar di sebelah kiri dan kanan, sehingga karenanya ia mendapat gelar “Hujjat al-Islam” (Argumen Islam). Pertama, dengan senjata gabungan dari empat unsur, kalam Asy’ariyah-Maturidiyah, Karramiyah, Mu’tazilah dan Waqifah, ditambah filsafat seorang Kristiani abad ke-6 M,Yahya al-Nahwi, menumbangkan metafisika Aristotelian-neo-Platonik yang deistik, yang di dunia Islam dikembangkan oleh kaum Burhaniyyun seperti al-Farabi dan Ibn Sina, yang mempercayai adanya Tuhan Yang Maha Esa tetapi tidak mengetahui apa-apa selain diri-Nya, atau mengetahui juga yang lain tetapi hanya secara universal, tidak secara partikular, seperti menurut Ibn Sina, bahwa alam ini qadim (tidak berawal) bersama Tuhan yang terbit daripada-Nya secara mekanik, dan tidak mengakui kebangkitan jasmani dengan segala nikmat dan siksa jasmaninya di akhirat. Kedua, menumbangkan Hermetisme-Gnostisisme yang di dunia Islam dikembangkan kaum Batini/Isma’ili/Ta’limi dan sufi heterodoks yang sering disebut “’Irfaniyyun” dengan segala ilmu dan tafsir batini-isyari-nya. Ini disebabkan, ketiga filsafat tersebut, atheisme, deisme dan esoterisme, akan senantiasa menjadi hambatan, tantangan, ancaman dan bahkan gangguan bagi eksistensi dan aktualisasi din al-Islam yang berintikan tauhidullah dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam yang dibawa Nabi Muhammad S.a.w. bagi pemeluk-pemeluknya sebagaimana dalam Syahadatain. B. Hakekat Ilmu (Ilmu Mutlak dan Ilmu Mudawwan/Disiplin Ilmu) 1. Ilmu Mutlak Kata “ilmu” berasal dari bahasa Arab, " العلم ", yang secara etimologis sepadan dengan kata “sciere” dalam bahasa Yunani dan Latin yang menjadi “science” dalam bahasa Inggeris, yaitu knowledge atau pengetahuan. Ia disebut dalam ratusan ayat al-Qur’an dan ratusan Hadis, sehingga menjadi sangat familier di kalangan ulama dan umat Islam selama berabad-abad menurut pengertiannya sendiri. Al-Qur’an dan Hadits memang tidak menjelaskan pengertian ilmu. Secara etimologis, kata ‘ilm (ilmu) berarti idrak (tangkapan). Ia sering dipakai secara metaforis dalam dua arti. Pertama, dalam arti ilmu, baik yang menunjuk kepada hakekat ilmu sebagai satuan pengetahuan yang disebut “ilmu mutlak”, maupun sebagai nama bagi kumpulan ilmu yang dibukukan, baik dalam arti sebagian masalah dan/atau proposisi-proposisi tentangnya, maupun dalam arti disiplin atau sistem pengetahuan yang terdiri dari obyek bahasan, permasalahan dan prinsip-prinsip dasar bagi pemecahan permasalahan tersebut. Kedua, dalam arti malakah (kecakapan, penguasaan atau pengetahuan) yang menunjuk kepada sipat kelestarian ilmu pada diri subyek. Para ulama Islam telah mengkaji hakekat ilmu dalam dua arti terminologis, yaitu ilmu sebagai ilmu mutlak ( العلم المطلق ), yakni belum dikaitkan dengan sesuatu yang lain seperti obyek, metode dan tujuan tertentu, dan ilmu sebagai ‘ilmu mudawwan ( العلم المدون ) yang disebut fann ( الفن ) atau shina’ah ( الصناعة ), yaitu discipline yang sering kita sebut “disiplin ilmu”. Mengenai ilmu mutlak, mereka berbeda pandangan apakah ia merupakan sesuatu yang dlaruri (a priori) yang hakekatnya dapat dikonsepsi begitu saja sehingga tidak memerlukan definisi, seperti menurut Fakhruddin al-Razi dan Ibn Taimiyyah, atau nazhari (a posteriori) tetapi sulit didefinisikan, melainkan dikonsepsi dengan analisis, klasifikasi dan contoh, seperti menurut Imam al-Haramain al-Juwaini dan al-Ghazali, atau nazhari yang tidak sulit didefinisikan, seperti menurut jumhur (mayoritas) ulama. Haji Khalifah mencantumkan lima belas definisi dari ulama dan filosof yang semua dikritiknya. Al-Syaukani mencantumkan sepuluh definisi sebelum menetapkan definisinya. Al-Qannuji mencantumkan tujuh belas definisi yang ditolaknya dan memilih definisi al-Syaukani, dan al-Sabhani mengemukakan beberapa definisi yang dikritiknya, kemudian mengemukakan definisinya kalau memang diperlukan. Ada sedikitnya lima model definisi yang mereka kemukakan, yaitu : 1. Definisi al-Syaukani (umum mencakup juga ilmu Allah) : العلم صفة ينكشف بها المطلوب انكشافا تاما. Ilmu adalah sifat yang dengannya apa yang dicari tersingkap secara sempurna. 2. Definisi sebagian mutakallimin (khusus mengenai ilmu manusia) : العلم هو معرفة المعلوم على ما هو به. Ilmu adalah mengetahui apa yang diketahui sesuai dengan realitasnya. العلم هو ادراك المعلوم على ما هو به. Ilmu adalah menangkap apa yang diketahui sesuai dengan realitasnya. العلم هو اعتقاد الشيئ على ما هو به مع توطين النفس الى المعتقد. Ilmu adalah meyakini sesuatu sesuai dengan realitasnya disertai ketenteraman jiwa terhadap apa yang diyakini. 3. Definisi Fakhruddin al-Razi (khusus mengenai ilmu manusia) : العلم هو حكم الذهن الجازم المطابق لموجب. Ilmu adalah keputusan akal yang pasti dan cocok dengan realitas obyek berdasarkan sesuatu yang mengharuskannya. 4. Definisi filosof kuno : بأنه حصول صورة الشيئ لدى العقل وانطباع صورته فى الذهن، سواء أكان الشيئ كليا أم جزئيا، موجودا أم معدوما. Ilmu adalah terhasilkannya gambar sesuatu dalam akal, dan tercetaknya gambar sesuatu itu dalam akal, sama saja apakah sesuatu itu merupakan universal ataukah partikular, baik ada maupun tiada. 5. Definisi al-Sabhani : ان العلم عبارة عن حضور المعلوم لدى العالم، اما حضورا بالمباشرة او بغيرها. Sesungguhnya ilmu adalah rumusan tentang hadirnya obyek yang diketahui pada subyek yang mengetahui, baik dengan kehadiran secara langsung maupun dengan lainnya. Definisi-definisi di atas menunjukkan adanya kesamaan persepsi di kalangan semua pemikir muslim dalam empat hal. Pertama, mereka tidak menunjuk ilmu mutlak sebagai disiplin atau substansi di luar diri subyek, tapi sebagai sipat, hal mengetahui atau terhasilkannya “gambar” (shurah) atau “salinan” (mitsal) obyek dalam diri subyek, yang sesudah dinyatakan dalam bahasa lisan atau tulisan, dihimpun dan disusun secara sistematik serta diklasifikasikan ke dalam bidang-bidang tertentu, disebut ilmu mudawwan (ilmu yang dihimpun), fann (bidang ilmu), atau shina’ah (karya ilmiah). Kedua, ilmu mutlak harus merupakan keputusan akal yang pasti berdasarkan metode ilmiah tertentu, bukan i’tiqad (kepercayaan), zann (dugaan kuat), syak (keraguan), wahm (dugaan lemah, lawan zann), dan jahl (ketidaktahuan), seperti spekulasi-spekulasi atau wacana-wacana asal-asalan yang tidak ilmiah dan tidak jelas ujung-pangkalnya. Ketiga, bahwa ilmu harus sesuai dengan realitas obyek yang ditunjuknya, yakni mereka menganut teori kebenaran korespondensial, tanpa mengabaikan kebenaran koherensial. Mereka tidak mengakui teori kebenaran pragmatisme dalam wacana keilmuan, kecuali dalam aspek aksiologinya serta dalam masalah etika dan hukum ijtihadi seperti dalam teori maslahat. Keempat, mengenai keluasan ilmu. Menurut mereka, semua ma’lum (yang diketahui) adalah obyek ilmu, baik maujud (yang ada), maupun ma’dum (yang tiada) dari sudut ketiadaannya dalam realitas aktual. Mereka mengenal empat kawasan realitas yang semuanya merupakan obyek ilmu, yaitu ‘Alam Syahadah (Dunia Fisis), ‘Alam Jabarut (Dunia Proses Mental), ‘Alam Malakut (Dunia Metafisis), dan Lahut (Realitas Mutlak, yaitu Allah). Dengan demikian, “gambar” atau “salinan” obyek yang ada pada akal itu bukan hanya “gambar” atau “salinan” obyek sensual yang diperoleh dari pancaindera secara langsung sebagai partikular atau melalui proses disposesi/abstraksi (intiza’) sebagai universal, mencakup substansi dan karakteristiknya, tapi juga “gambar” atau “salinan” obyek rasional yang diperoleh akal secara langsung tanpa bantuan pancaindera, seperti obyek imu-ilmu rasional a priori, termasuk tangkapan akal terhadap kenyataan diri dan “gambar” atau “salinan” obyek yang ada dalam dirinya sendiri, dan obyek ilmu-ilmu inferensial yang diperoleh akal berdasarkan data empirik-sensual dan berdasarkan analogi yang gaib kepada yang tampak (qiyas al-ga’ib ‘ala al-syahid) yang mencapai derajat ilmu, serta apa yang hanya ada dalam konsep mental, seperti kemustahilan, bilangan dua ke atas, dan sebagainya. Bahkan bukan hanya menyangkut aspek-aspek faktual menurut “apa adanya”, tapi juga menyangkut fungsi dan nilai-nilai praksisnya (etis-yuridis) dari sudut “bagaimana seharusnya” sikap dan perbuatan manusia terhadapnya. Ilmu yang obyeknya realitas faktual disebut ‘ilm nazari (ilmu teoretis) mengenai keempat kawasan realitas di atas, termasuk matematika, sedangkan yang obyeknya nilai dan norma disebut ‘ilm ‘amali (ilmu praktis) atau ‘ilm al-mu’amalah (ilmu kehidupan praktis), yang pokoknya adalah ilmu akhlaq-tasawuf (etika islami) dan fiqh berikut teorinya yaitu ilmu Ushul Fiqh. Dengan demikian, ilmu bukan hanya ilmu empirik sensual (sains dalam terminologi Barat modern), tapi juga ada ilmu rasional seperti logika dan matematika, dan bahkan transendental yang diperoleh melalui wahyu (seperti al-Qur’an dan Hadis), ilham, dan mukasyafah/musyahadah (penyingkapan/penyaksian) di mana, kata Ibn Taimiyyah, " عدم العلم ليس العلم بالعدم " (ketiadaan mengetahui bukanlah mengetahui ketiadaan) dan, katanya pula, yang ada bukan hanya ‘ilmu infi’ali (ilmu pasif) yang memotret sesuatu dari sudut apa adanya, tapi juga ada ‘ilmu fi’li (ilmu aktif-konstruktif) yang membangun sesuatu dari sudut bagaimana seharusnya, seperti ilmu politik, ilmu hukum, ilmu pendidikan, ilmu managemen, ilmu teknik (teknologi), ilmu Ushul Fiqh dari sudut bagaimana seharusnya membangun fiqh, dan sebagainya. Dengan demikian, sikap ilmiah tidak identik dengan sikap pasif selamanya, dan ilmuwan tidak wajib bersikap dan berwatak pasif belaka sebagai “cameraman” yang hanya memotret dan membuntuti realitas, tapi juga membentuk realitas dan memelopori pembaharuan sesuai tuntutan ilmunya baik yang pasif maupun yang aktif-konstruktif. Itu sebabnya dalam masyarakat dan sejarah peradaban Islam, ‘ulama (ilmuwan) pada umumnya sekaligus juga zu’ama (pemimpin) untuk menghindari “ilmun la yanfa’” (ilmu yang tidak bermanfaat). Itulah yang dimaksud “ulama” dalam ayat " " انما يخشى الله من عباده العلماء (sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya hanyalah ulama), dan dalam hadits " العلماء ورثة الأنبياء " (ulama adalah pewaris para nabi). 2. Ilmu Mudawwan/Disiplin Ilmu Mengenai ‘ilmu mudawwan, yaitu ilmu sebagai sebuah sistem atau disiplin, para ulama Islam telah menetapkan persyaratannya, yaitu bahwa ia harus terdiri atas sedikitnya lima unsur spesifik, yaitu ism (nama) yang dijelaskan dengan ta’rif (rumusan), maudlu’ (obyek bahasan), masa’il (permasalahan), mabadi’ (prinsip-prinsip epistemologis/metodologis), dan ghayah (tujuan), atau empat saja : maudlu’, ‘aradl dzatiyyah, masa’il dan mabadi’. Kemudian dalam filsafat sains Barat modern unsur-unsur ini disebut unsur ontologis (obyek), epistemologis (metode) dan aksiologis (tujuan dan kegunaan). Unsur-unsur lain sering dikemukakan sebagai pelengkap, seperti faidah (kegunaan), nisbah (kedudukan dan hubungannya dengan ilmu-ilmu lain), hukum mempelajari dan pendirinya. Dengan demikian, ilmu dalam arti disiplin (fann atau shina’ah) adalah kumpulan ilmu (pengetahuan) mengenai obyek tertentu yang diperoleh melalui metode tertentu untuk tujuan tertentu, yang dinyatakan atau dituangkan dalam bahasa lisan atau tulisan, yang disusun secara sistematik dan diklasifikasikan ke dalam bidang-bidang tertentu sehingga menjadi sebuah sistem. Intinya, ilmu sebagai sebuah disiplin atau fann/shina’ah adalah kulli (universal) yang terbentuk dari juz’iyyat (partikular-partikular) berupa satuan-satuan ilmu mutlak. Begitu pula ilmu Kalam/Ushuluddin sebagai disiplin ilmu merupakan sebuah kulli yang terbentuk dari juz’iyyat ilmu mutlak-ilmu mutlak berupa satuan-satuan ashl (dasar, pokok, pangkal) dan kajian-kajian ilmiah tentangnya yang kokoh. Ilmu Kalam/Ushuluddin sebagai fondasi semua ilmu lain dan amal harus merupakan sebuah beton ilmu yang kokoh dan solid, yang terbentuk dari satuan batu-batu yang kuat, yaitu satuan ilmu mutlak- ilmu mutlak berdasarkan dalil-dalil tekstual (naqli), rasional (‘aqli) dan natural (thabi’i/ kauni) yang dipahami baik secara istidlal (menjadikan sesuatu sebagai petunjuk) dan talazum (konkomitan), maupun secara deduktif, induktif, analogik-komparatif dan sebagainya, bukan sekedar wacana atau tumpukan informasi asal-asalan yang rapuh, yang tersusun dari zann, syak, dan wahm, apalagi jahl baik basith maupun murakkab, seperti karena pengaruh syetan, hawanafsu, milieu dan tradisi lokal, regional dan global yang buruk, tekanan penguasa, taqlid kepada yang batil (salah) atau fasid (rusak), khurafat (mitos), takhayul (fiksi) dan sebagainya. Kajian mengenai ‘ilmu mudawwan (disiplin ilmu) memang melibatkan kita dalam kajian tentang klasifikasi ilmu yang memerlukan uraian panjang. Dalam kesempatan ini hanya perlu dikemukakan tiga hal, yaitu mengenai status klasifikasi ilmu dan isinya. Pertama, kitab العلوم احصاء (Statistik Ilmu-Ilmu) karya al-Farabi (259-339 H), merupakan kitab pertama di dunia mengenai klasifikasi ilmu dalam arti yang sebenarnya, yang di dalamnya ia menjelaskan pengertian setiap disiplin ilmu, obyek dan lingkup bahasan, permasalahan dan bagian-bagiannya berikut hubungan antar bagian, kegunaan, dan hubungannya dengan disiplin-disiplin ilmu lain. Kegunaan klasifikasi ilmu menurutnya antara lain : (a) menjadikan orang yang hendak mempelajari suatu disiplin ilmu mengerti betul atas dasar apa ia mempelajarinya, apa saja yang ia pelajari, dan manfaat serta keutamaan apa yang akan ia peroleh dengan ilmu itu, sehingga ia mempelajarinya dengan kesadaran dan kemelekan, bukan dengan kebutaan dan ketertipuan.; (b) dapat membandingkan antar ilmu, sehingga mengetahui mana yang lebih utama, bermanfaat, kokoh dan kuat, serta mana yang kurang utama, kurang bermanfat, lebih rapuh, rawan dan lemah; (c) dapat menyingkap tabir orang yang mengklaim menguasai suatu ilmu padahal tidak, sebab bila ia diminta untuk menerangkan kandungannya dan menghimpun bagian-bagiannya serta ranting-ranting dari setiap bagian tapi tidak mampu menjelaskannya, nyatalah kebohongan pengakuannya dan tersingkaplah kedoknya; (d) dapat mengetahui sejauh mana tingkat penguasaan seseorang terhadap suatu ilmu, apakah seluruhnya atau hanya sebagiannya dan sejauh mana kadar yang dikuasainya; (e) berguna pula bagi pelajar yang bermaksud menghimpun sejumlah kandungan setiap ilmu, dan bagi orang yang ingin menyerupai ahli ilmu agar dianggap ilmuwan. Apa yang dikemukakan al-Farabi itu sangat penting, baik dalam kaitannya dengan pengembangan dan penerapan ilmu, maupun dengan pendidikan dan penguasaan ilmu. Langkah awal dalam setiap ilmu adalah merumuskan batasan-batasannya dan menjelaskan bagian-bagiannya berikut hubungan internal antar bagian dan hubungan eksternal dengan ilmu-ilmu lain baik vertikal maupun horizontal. Begitu pula langkah awal bagi setiap pelajar dan peneliti ilmu adalah memulai studinya dengan mengenal arti ilmu tersebut serta bagian-bagiannya berikut hubungan internal antar bagian dan hubungan eksternal dengan ilmu-ilmu lain, baik vertikal maupun horizontal. Hal ini merupakan condition sine quanon dalam studi dan kajian, sebab seorang pengkaji tidak mungkin membatasi obyek kajiannya secara jelas tanpa menempuh langkah pertama ini. Karena itu, kurikulum dan silabus yang mentransformasikan suatu ilmu ke dalam bentuk satu atau beberapa mata kuliah, meskipun di satu sisi secara kontekstual harus disesuaikan dengan ruang, waktu dan situasi-kondisi, termasuk kemampuan dan kebutuhan sivitas akademika serta institusi dan lingkungan sosialnya, dan tentunya dengan kebijakan politik penguasa, tetapi di sisi lain secara substansial harus pula mempertahankan keutuhan disiplin ilmu tersebut. Adalah pengerdilan ilmu dan bencana besar bagi kemajuan ilmu dan peradaban apabila kurikulum dan silabus disusun hanya semata-mata menurut kepentingan ideologi dan politik praktis tertentu, atau menurut pola pikir managemen pragmatis yang hanya berorientasi pada prinsip efisiensi, efektivitas dan relevansi belaka seperti dalam perspektif behaviorisme yang verbalistik, sebab ilmu adalah “nur” dan “spirit” yang tidak bisa ditakar hanya dengan takaran-takaran fisis-pragmatis dan finasial belaka. Karena itu, dosen pengajar mata kuliah tertentu yang merupakan pecahan dari suatu disiplin ilmu, minimal harus menguasai totalitas disiplin ilmu itu, dan maksimal menguasai hubungan disiplin ilmu tersebut dengan disiplin-disiplin lain terutama yang berdekatan, baik vertikal maupun horizontal seperti yang sebidang atau serumpun. Dalam konteks ini kitab-kitab bibliografi sangat berguna. Kitab al-Fahrast ( الفهرست ) karya Ibn al-Nadim (w. 380 H) merupakan kitab bibliografi pertama di dunia yang menghimpun semua disiplin ilmu yang berkembang di dunia sampai dengan masanya berikut tokoh dan kitab-kitab masing-masing yang diketahuinya. Tasy Kubra Zadah (901-968 H/1495-1561 M), dengan kitab bibliografinya مفتاح السعادة ومصباح السيادة فى موضوعات العلوم (Kunci Kebahagiaan dan Pelita Kemenangaan tentang Topik Ilmu-Ilmu), adalah manusia pertama di dunia yang memandang klasifikasi ilmu sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri, dengan definisi, kedudukannya sebagai cabang metafisika, metode dan teknik klasifikasi, serta karya-karya tulis tentangnya, dan ia sendiri telah membuat sistem klasifikasi tersendiri yang menghimpun lebih dari 300 disiplin ilmu dengan karya tulis-karya tulis dan para penyusunnya dari masing-masing disiplin. Di bawah titel " علم تقاسيم العلوم " (Ilmu Klasifikasi Ilmu), ia mengatakan : وهو علم باحث عن التدرج من أعم الموضوعات الى أخصها، ليحصل بذلك موضوع العلوم المندرجة تحت ذلك الأعم. ولما كان أعم العلوم موضوعا العلم الالهى جعل تقسيم العلوم من فروعه. ويمكن التدرج فيه من الأخص الى الأعم على عكس ما ذكر، لكن الآول أسهل وأيسر. وموضوع هذا العلم، والغاية، والغرض منه ومنفعته كلها لا يخفى على أحد، وصنف أبن سينا فى هذا العلم (رسالة لطيفة) وهذه الرسالة النى نحن بصدد تنقيحها وتهذيبها عظيمة النفع فى هذا الباب والله أعلم بالصواب. “Yaitu ilmu yang membahas langkah sistematik-gradual dari obyek-obyek yang lebih umum kepada yang lebih khusus agar dengan demikian terhasilkan obyek ilmu-ilmu yang bernaung di bawah yang lebih umm itu. Ketika ilmu yang paling umum obyeknya adalah ilmu Ilahi, maka ilmu Klasifikasi Ilmu menjadi salah satu cabangnya. Bisa pula dalam klasifikasi ini menempuh langkah sistematik-gradual dari yang lebih khusus kepada yang lebih umum menurut kebalikan dari yang sudah disebutkan, tetapi model pertama lebih mudah dan lebih gampang. Obyek ilmu ini, tujuan dan maksud serta kegunaannya, semuanya tidak samar bagi seorang pun, dan Ibn Sina telah menyusun sebuah risalah kecil mengenai ilmu ini, dan risalah yang sedang kita kembangkan ini besar manfaatnya dalam hal ini. Wa Allahu A’lam bi al-shawab (Allah paling mengetahui kebenaran).” Fakta di atas menunjukkan bahwa sistem klasifikasi ilmu, sejak kelahiran sampai dengan puncak kematangannya ditangani dan dimonopoli oleh umat Islam. Jika pada abad ke-4 H/10 M al-Farabi dengan kitabnya Ihsha’ al-‘Ulum adalah pencipta sistem klasifikasi ilmu secara logis/filosofis, dan Ibn al-Nadim dengan kitabnya al-Fahrast adalah pencipta sistem klasifikasi ilmu secara bibliografik, maka puncaknya adalah Tasy Kubra Zadah pada abad ke 10 H/15-16 M yang untuk pertama kalinya di dunia menjadikan sistem klasifikasi ilmu sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri, dan untuk pertama kalinya di dunia membuat sistem klasifikasi ilmu kombinatif, yaitu klasifikasi logis/filosofis sekaligus bibliografik dengan kitabnya Miftah al-Sa’adah wa Mishbah al-Siyadah fi Maudlu’at al-‘Ulum. Sistem klasifikasi logis deduktif dari Tasy Kubra itulah yang pada abad ke-19 M diikuti Auguste Comte. Comte yang mengkritik semua sistem klasifikasi sebelumnya, termasuk klasifikasi Francis Bacon (1561-1626 M) karena masih memuat “teologi” sebagai ilmu, memang membatasi diri hanya pada ilmu-ilmu empirik-sensual (sains) sesuai akidah dan filsafat yang dianutnya dan tujuan yang hendak dicapainya yaitu menciptakan sebuah “agama alamiah-saintifik” atau “saintisme”. Tetapi ia mendapat kesulitan berat sehingga tidak berani menyebut matematika, yang obyeknya bukan fisik, sebagai disiplin ilmu secara tegas, meskipun mengakui urgensi dan vitalitasnya sehingga terpaksa mengakui dan memposisikannya sebagai “mukaddimah atau alat sains”. Mestinya, matematika yang abstrak dan semi-metafisis itu, bahkan juga “The Positive Philosophy” sendiri, yang merupakan produk tahap abstrak/metafisis, sudah ditinggalkan karena sudah “out of date” pada masa “positif/realistik” menurut hukum tiga tahap perkembangan Comte sendiri. Kedua, sejak abad ke-4 H/10 M terdapat dua model klasifikasi ilmu. Pertama, model ontologis-antroposentrik (berorientasi pada obyek ilmu dari sudut kapasitas manusia untuk menangkapnya), seperti dari al-Farabi dan Ibn Sina. Kedua filosof muslim ini mengklasifikasikan ilmu menurut skema kuno dari Aristoteles dengan modifikasi dan penjelasan tertentu. Aristoteles membagi filsafat kepada tiga bagian : (a) filsafat teoretis, mencakup fisika, matematika dan metafisika, (b) filsafat praktis, mencakup etika, ekonomi dan politik, dan (c) estetika. Pada al-Farabi dan Ibn Sina ekonomi tidak ada, dan Ibn Sina menggantinya dengan etika keluarga. Al-Farabi memakai term “ilmu” dan menambahkan dua disiplin ilmu keislaman yaitu kalam dan fiqh, sedangkan Ibn Sina memakai term “hikmah” dan menambahkan “hikmah nubuwwah”. Menurut Kamil, Aristoteles memandang logika bukan cabang filsafat, melainkan alat untuk mencapai kebenaran, tapi menurut Nasysyar tidak bisa dipastikan, sebab Aristoteles pun tidak menegaskannya. Kedua, model epistemologis-integralistik yang, secara realistik, menampung juga fenomena keilmuan baru secara memadai, seperti dari al-Khawarizmi (w. 387 H/997 M) dengan kitabnya Mafatih al-‘Ulum (Kunci Ilmu-Ilmu). Meskipun tujuan utama kitab ini memaparkan kunci ilmu-ilmu dan teknologi, terutama pokok-pokok kajian dan terminologi masing-masing disiplin, tetapi ia memperlihatkan klasifikasi konsepsional. Kitab ini dibagi dua makalah : (1) Tentang ilmu-ilmu Syar’iyyah dan ilmu-ilmu penunjangnya berupa ilmu-ilmu kearaban, yaitu : fiqh yang mencakup ushul fiqh, kalam, al-Kitab (‘ulum al-Qur’an), adab (sastera), ‘arudl (notase) dan sejarah, semuanya dalam enam bab, terdiri 52 pasal. (2) Ilmu-ilmu ‘Ajam (non-Arab) dari Yunani dan lainnya, dalam 9 bab, terdiri 41 pasal, yaitu : filsafat, logika, kedokteran, arithmatika, geometri, astronomi, musik, retorika dan kimia. Kemudian muncul al-Ghazali dengan tiga model klasifikasi ilmu. Pertama, model ontologis-substansialis, yang mengklasifikasikan ilmu sebagaimana Ibn Sina, tetapi dengan term “ilmu” seperti al-Farabi. Kedua, model epistemologis (berorientasi pada sumber dan cara memperoleh ilmu), yang membagi ilmu-ilmu dari sudut sumber dan cara memperolehnya kepada dua jenis, yaitu : ilmu-ilmu Naqliyyah/Syar’iyyah ( العلوم النقلية / العلوم الشرعية ), yang diperoleh dengan metode sima’ah (mendengar) dari Nabi SAW, dan ilmu-ilmu ‘Aqliyyah/Ghair Syar’iyyah ( العلوم العقلية / العلوم الغير الشرعية ), yaitu yang diperoleh manusia dengan akal dan pengalamannya, yang terbagi dua : dlaruriyyat (a priori) dan muktasabah (a posteriori/inferensial) yakni yang diperoleh dengan belajar dan pembuktian-penyimpulan. Ilmu-ilmu Syar’iyyah terbagi empat kelas, yaitu : (a) Ushul (Pokok), yakni al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’ dan Atsar Shahabat; (b) Furu’ (Cabang), yang digali dan dikembangkan dari Ushul, yang pada pokoknya adalah fiqh, yang menyangkut kemaslahatan duniawi, dan “’ilm thariq al-akhirah” (ilmu mengenai jalan akhirat) yang menyangkut kemaslahatan ukhrawi, yang mencakup ilmu mukasyafah dan ilmu mu’amalah. Ilmu mu’amalah, yang menjadi fokus utama Ihya’, terbagi dua : ilmu lahir, yang terdiri dari ‘ibadat dan ‘adat/mu’amalat, dan ilmu batin yang menyangkut tazkiyah dari akhlak tercela (muhlikat) dan tahliyah dengan akhlak terpuji (munjiyat). (c) Alat (Penunjang) untuk memahami dan menghasilkan ilmu dari Ushul, seperti ilmu bahasa Arab, dan (d) Mutammimat (Pelengkap), seperti ilmu Qira’at, ilmu Tafsir, ilmu Ushul Fiqh, ilmu Hadits, ilmu Kisah para nabi dan umat terdahulu, dan sebagainya. Dari sudut hukum mempelajarinya, ilmu-ilmu Syar’iyyah ada yang fardlu ‘ain, yaitu hukum-hukum syara’ yang wajib atas seseorang secara kontekstual ( على مقتضى الحال / واجب الوقت ), dan ada yang fardlu kifayah, yaitu keempat ilmu di atas yang tidak termasuk fardlu ‘ain. Ilmu-ilmu Gair Syar’iyyah ada yang terpuji, tercela dan mubah. Yang terpuji adalah semua ilmu Gair Syar’iyyah yang berguna atau diperlukan untuk kemaslahatan dunia, yang terbagi dua : (a) fardlu kifayah, yaitu semua ilmu yang mutlak dibutuhkan untuk tegaknya kehidupan duniawi, seperti matematika, ilmu kedokteran, teknologi industri, pertanian, ilmu politik, ilmu militer, teknologi tekstil, ilmu menjahit, dan sebagainya; (b) fadlilah (keutamaan), yaitu kajian filosofis tentang ilmu-ilmu tersebut yang tidak mutlak diperlukan, tetapi menambah kekuatan bagi kadar yang diperlukan sebagai basis. Ketiga, model aksiologis (berorientasi pada tujuan dan kegunaan ilmu), yang membagi ilmu kepada ilmu mukasyafah sebagai tujuan yang menghasilkan sa’adah abadiyyah (kebahagiaan abadi), dan ilmu mu’amalah sebagai alat dan sarana menuju mukasyafah, yang terdiri empat bagian : ‘ibadat, mu’amalat, takhliyah/tazkiyah dari muhlikat, dan tahliyah dengan munjiyat, seperti dituangkan dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din jilid I-IV. Ibn Khaldun mengklasifikasikan ilmu ke dalam dua jenis seperti al-Khawarizmi dan al-Ghazali, yaitu : ilmu-ilmu Thabi’iyyat (Ilmu-Ilmu Natural) atau al-‘Ulum al-Hikmiyyah al-Falsafiyyah (Ilmu-Ilmu Kefilsafatan), yaitu ilmu-ilmu ‘Ajam pada al-Khawarizmi dan ilmu-ilmu ‘Aqliyyah/Gair Syar’iyyah pada al-Ghazali, dan ilmu-ilmu Naqliyyah atau al-‘Ulum al-Naqliyyah al-Wadl’iyyah (Ilmu-Ilmu Penurunan-Kultural), yaitu ilmu-ilmu Syar’iyyah pada al-Khawarizmi dan al-Ghazali. Ilmu-ilmu jenis pertama merupakan milik bersama seluruh umat manusia, sedangkan ilmu jenis kedua khusus dimiliki umat Islam sebagaimana umat lain juga memiliki ilmu-ilmu khusus yang serupa. Analisis ini sesuai dengan realitas bahwa semua umat beragama dan etnik mempunyai budaya dan ilmu yang khusus dan asli mereka, yang memerlukan klasifikasi sendiri, seperti ilmu bahasa, ilmu agama, ilmu sejarah, dan ilmu geografinya. Adapun ilmu-ilmu rasional/natural dalam arti luas, materinya sama bagi semua umat, dan tak dapat dimasuki unsur-unsur keagamaan, etnik dan primordial lain. Dalam ilmu-ilmu Naqliyyah, klasifikasi Ibn Khaldun sama dengan klasifikasi al-Khawarizmi, kecuali bahwa ia memandang ushul fiqh, fara’idl (ilmu waris) serta jidal dan khilafiyat (dialektika dan studi perbandingan mazhab fiqh) sebagai tiga disiplin tersendiri, dan menyebutkan “ilmu tashawuf” yang tak pernah disebut oleh seorang pun dalam klasifikasi sebelumnya, (kecuali jika “ilmu thariq al-akhirah” dari al-Ghazali diartikan “ilmu tashawuf). Begitu pula ia memisahkan “ilmu bahasa” dengan “adab” (sastera), yang juga mungkin untuk pertama kalinya. Adapun ilmu-ilmu ‘Aqliyyah, pertama-tama dibagi empat : mantiq (logika), thabi’ (fisika), ilahi (metafisika), dan ta’alim (matematika). Jadi, sama dengan filsafat teoretis Aristoteles, hanya ditambah logika, yakni sama dengan al-Farabi, al-Khawarizmi, Ibn Sina dan al-Ghazali. Kemudian semua ini dirinci menjadi : arithmatika, geometri, falak, logika, fisika, kedokteran, pertanian, Ilahiyyat, sihir dan tilsimat serta kimia. Tasy Kubra Zadah membagi ilmu dan kitabnya kepada 7 (tujuh) bidang dasar sebagai berikut : (a) Kitabah, tentang ilmu-ilmu yang menyangkut tulisan; (b) ‘Ibarat, tentang ilmu-ilmu yang menyangkut lafaz/bahasa; (c) Adzhan, tentang ilmu-ilmu yang menyangkut dunia proses mental, seperti logika, diskusi, dialektika, pendidikan dan pengajaran, dan sebagainya; (d) A’yan, tentang metafisika dengan cabang-cabangnya, fisika dengan cabang-cabangnya, dan matematika dengan cabang-cabangnya (geometri, falak, arithmatika dan musik); (e) A’yan, tentang hikmah ‘amaliyyah (filsafat praktis), meliputi etika, pengaturan keluarga, dan politik, berikut cabang-cabang filsafat praktis ini; (f) A’yan, tentang ilmu-ilmu Syar’iyyah : Qira’at, Riwayat Hadits, Tafsir al-Qur’an, Dirayah Hadits, Ushul al-Din (Kalam), Ushul Fiqh, dan Fiqh; (g) A’yan, tentang furu’ (cabang-cabang) ilmu-ilmu Syar’iyyah, yaitu ‘ibadat, ‘adat, muhlikat dan munjiyat, yang menjadi isi dari keseluruhan jilid III kitabnya, dan merupakan ringkasan dari Ihya’ al-Ghazali. Menurut Kamil, klasifikasi bibliografik Tasy Kubra Zadah ini lebih sempurna ketimbang klasifikasi bibliografik Francis Bacon pada abad ke-17 M, dan dari pengembangannya, klasifikasi John Dewey pada abad ke-19 M yang merupakan standard klasifikasi ilmu di Barat hingga sekarang. Ketiga, meskipun para pemikir muslim sejak al-Farabi sampai dengan Tasy Kubra Zadah telah menjadi pionir dalam klasifikasi ilmu, tetapi ini tidak berarti bahwa jumlah dan rincian isi cabang ilmu berhenti pada jumlah dan rincian isi yang ditunjuk dalam klasifikasi mereka, atau klasifikasi mereka sudah menyebutkan semua cabang dan rincian ilmu yang akan terus berkembang. Sebab, menurut al-Ghazali, ilmu yang terjangkau manusia ada yang sudah ditemukan dan ada yang belum tetapi akan ditemukan di kemudian hari, dan semua klasifikasi tidak mungkin menyebutkan cabang ilmu yang belum muncul pada masa pembuat klasifikasi itu. Bahkan Comte, misalnya, secara konsepsional hanya menyebut 6 (enam) bidang ilmu (sains positif) yang dianggapnya fundamental, yaitu : matematika, astronomi, kimia, fisika, fisiologi (nabati dan hewani) dan fisika sosial (sosiologi). Dengan mengemukakan hakekat ilmu menurut filsafat ilmu islami di atas, penulis hendak menunjukkan beberapa hal yang bisa dikemukakan di sini. Pertama, dengan hakekatnya sebagai keputusan akal yang pasti (jazim), ilmu, apalagi ilmu Kalam/Ushuluddin, bukan sekedar wacana atau tumpukan informasi asal-asalan yang tidak jelas ujung-pangkalnya, melainkan keputusan akal yang pasti, yang diyakini oleh pemiliknya (‘alim/‘ulama, ilmuwan) sebagai kebenaran (haqq). Dengan demikian, dimungkinkan ilmu itu membentuk sikap dan perilaku ilmiah pada pemiliknya sesuai keyakinannya itu, tidak seperti himar yang memikul setumpuk barang muatan yang tidak dimengertinya. Dengan menunjuk kepastian ilmu yang menghendaki sipat umum-mutlak dari ilmu ini penulis tidak bermaksud menolak teori Kant yang mensyaratkan berdirinya sebuah disiplin ilmu bahwa ia harus umum-mutlak dan dapat memberikan informasi baru, tetapi aspek informasi baru itu hanya sesuai dengan ilmu empirik-sensual seperti dalam konteks kajian Kant sendiri yang hendak mensintesiskan idealisme-rasionalisme Platonik dengan realisme-empirisme Aristotelian dalam tataran sains. Namun demikian, aspek historisitas-kontekstualitas dari ilmu sebagai disiplin, termasuk ilmu rasional dan revalasional seperti ilmu Kalam/Ushuluddin dapat menampung usulan Kant tersebut sejauh tidak merusak substansinya yang umum-mutlak. Seperti ditunjuk Peursen, sipat kepastian ilmu itu sangat diperlukan untuk menjaga kekokohannya, sekalipun mengakibatkan ilmu tersebut agak lamban dalam perberkembangannya. Dan, lembaga ilmu pengetahuan apapun selama berasaskan Pancasila yang sila pertamanya “Ketuhanan Yang Maha Esa”, harus mengakui status dan eksistensi ilmu Kalam/Ushuluddin dan ilmu-ilmu keislaman serta keagamaan lain, tanpa harus mensyaratkan agar ilmu-ilmu tersebut bersipat dinamis dan selalu berkembang dalam arti berubah substansinya seperti menurut perspektif filsafat positivisme-naturalisme, sebab realitas Ketuhanan dan dunia metafisis serta informasi-informasi tentangnya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah tidak berubah, bahkan syari’at-Nya pun tidak berubah sampai akhir zaman, yang ini diakui oleh sila pertama Pancasila tersebut. Seperti dikatakan Notonagoro, Pancasila mengakui realitas bahwa segala sesuatu di alam ini senantiasa berubah, tetapi dalam perubahan yang senantiasa terjadi itu terdapat unsur intinya yang tetap dan tidak berubah. Kedua, dengan sipatnya yang muthabiq (sesuai dengan realitas obyek), ilmu faktual harus obyektif, sehingga teori harus sesuai dengan fakta dan data, bukan fakta dan data yang dimanipulasi atau direduksi agar sesuai dengan teori, seperti menurut Harre, dan yang sering dilakukan kaum fanatik mazhab dalam Islam, dan oleh kaum fanatik agama seperti orientalis dalam studi Islam. Selain itu, kebenaran ilmu faktual mengenai obyek yang sama dan aspek yang sama adalah tunggal, baik diyakini secara absolut maupun tentatif. Ini berarti, pergeseran dari kebenaran yang tunggal itu ke arah mana pun juga dan dengan alasan apa pun juga pasti selalu berarti kesalahan atau kesesatan. Dalam ungkapan al-Qur’an, “fa madza ba’da al-haqqi illa al-dlalal” (ada apa sesudah kebenaran selain kesesatan ?). Karena itu, sebuah hukum, teori, tesis atau formula ilmiah yang sudah dibuktikan kebenarannya (di-verifikasi) secara ilmiah adalah benar dan harus dipertahankan selama tidak ada bukti yang menyangkal (mem-falsifikasi), tidak harus diubah, diganti, dibuang atau ditolak hanya karena ia produk ruang dan waktu tertentu seperti diajukan kaum relativis-kontekstualis yang sofistik-agnostik dan secara de facto telah menimbulkan paham operasionalisme yang berbahaya. Konsekuensi lain adalah bahwa korespondensialitas atau obyektivitas ilmu yang menjadi bagian dari substansi ilmu sendiri, tidak bisa digeser dengan fungsi pragmatisnya, sebab fungsi menduduki posisi ketiga sesudah substansi dan aksiden, apalagi fungsi itu relatif. Ini berarti, jika substansi “ilmu” itu batil, yakni dlalal atau jahl, yang sebenarnya bukan ilmu, pasti fungsinya pun batil pula, yakni efek kemajuan dan kemaslahatan yang diharapkan timbul daripadanya, seperti oleh Fazlur Rahman, Jabiri, Arkoun, Hasan Hanafi, Abdullah Ahmed al-Na’im dan lainnya yang fungsionalis-pragmatis, hanyalah nihil atau fatamorgana belaka, jika tidak turut mempercepat pergeseran umat Islam ke arah jalan Ahli Kitab seperti yang telah disebutkan Rasulullah SAW. Jika ini yang terjadi, maka berarti kita sudah menyalahi doa kita sendiri pada dua ayat terakhir dari surat al-Fatihah. Ketiga, sesuai dengan hakekatnya yang li mujibin, ilmu harus berdasarkan metode ilmiah tertentu, baik empirik dan rasional, yaitu istidlal dengan segala bentuknya, maupun transendental dalam bentuk mukasyafah/ musyahadah dan wahyu bagi nabi serta ilham bagi wali. “Taqlid”, yaitu “menerima suatu pendapat tanpa argumen”, kata al-Ghazali, “bukanlah metode untuk mencapai ilmu, baik dalam ushul ( ilmu-ilmu dasar/teoritis seperti ilmu Kalam/Ushuluddin), maupun dalam furu’ (ilmu-ilmu cabang/ praktis seperti fiqh)”, apalagi taqlid kepada orang luar seperti orientalis yang hanya mengetahui Islam secuil dari kulitnya dan mendapat kritik pedas dari Edward Sa’id, seorang Kristiani Palestina. Ini perlu mendapat perhatian serius terutama pada masa dunia Islam terkalahkan oleh dunia lain seperti sekarang ini, sebab, menurut teori Ibn Khaldun, “al-maglub muli’un abadan bi al-iqtida’i bi al-galib”, (yang kalah senantiasa cenderung untuk mengikuti yang menang) sehingga “al-‘ammah ‘ala din al-malik” (masyarakat umum mengikut agama rajanya), bahkan “al-ummah idza gulibat wa sharat fi mulki gairiha asra’a ilaiha al-fana’” (suatu ummat apabila kalah dan terlebur ke dalam kerajaan yang lainnya akan cepat punah). Sangat disayangkan, kini sudah muncul fenomena sebagian dosen ilmu-ilmu keislaman kita merasa bangga dan terhitung “ilmuwan” kalau mengutip dan ber-taqlid buta kepada tesis atau teori orientalis atau sarjana muslim yang “westoxecated” hanya karena tesis atau teori itu asing atau syadz dari tesis atau teori mainstream ulama Islam dalam rangka “khalif al-nas tu’raf” (berbedalah anda dengan masyarakat luas pasti anda dikenal). Keempat, ilmu Kalam/Ushuluddin merupakan bagian dari rumpun ilmu-ilmu khusus keislaman (al-‘ulum al-Syar’iyyah/al-Naqliyyah) yang dari sudut obyek yang menjadi isi akidah Islam termasuk ke dalam kategori ilmu pasif (infi’ali) yang mengkaji sesuatu dari sudut apa adanya (obyektif) sebagai fakta atau realitas, bukan ilmu konstruktif (fi’li) yang mengkaji sesuatu dari sudut “bagaimana seharusnya” seperti paedagogik yang membentuk kepribadian peserta didik, atau seperti teknologi yang merekayasa alam sesuai kehendak kita. Namun demikian, dari sudut ajaran Islam sebagai fakta atau realitas din al-haq (agama kebenaran) yang diwahyukan Allah dalam al-Qur’an dan dijelaskan dalam al-Sunnah, obyektivitas ilmu Kalam/Ushuluddin terikat oleh al-Qur’an dan al-Sunah sebagai dalil naqli (kewahyuan) sebagaimana terikat oleh dalil ‘aqli (rasional). Karena itu ilmu Kalam hanya bisa diurus secara baik dan benar oleh umat Islam sendiri, dan istilah “teologi pembangunan”, misalnya, yang muncul dari kaum fragmatis, merupakan istilah yang sesat dan menyesatkan serta kontradiksi dengan hakekat teologi sendiri sebagai ilmu faktual. Kelima, bahwa status ilmu Kalam/Ushuluddin sebagai sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri sudah demikian kokoh dalam tradisi intelektual dan kultur kehidupan umat Islam selama kurang lebih tiga belas abad (abad 2-15 H). Hal ini terlihat misalnya dalam berbagai jenis kitab ulama Islam yang biasa menyebut ilmu Kalam/Ushuluddin sebagai sebuah disiplin ilmu. Khusus dalam kajian tentang klasifikasi ilmu dalam kitab-kitab para ulama Islam, ilmu Kalam/Ushuluddin sudah tercantum sebagai disiplin ilmu tersendiri dalam kitab klasifikasi ilmu pertama di dunia, yaitu Ihsha’ al-‘Ulum karya al-Farabi (w. 339 H), yang hanya menyebut dua buah ilmu keislaman, yaitu ilmu Kalam dan ilmu Fiqh. Ibn al-Nadim (w. 380 H), dalam al-Fahrast, kitab bibliografi pertama di dunia (selesai disusun 377 H), sekalipun tidak menyebut ilmu Kalam/Ushuluddin sebagai disiplin ilmu tersendiri, tetapi membahas secara khusus tokoh-tokoh kalam dengan sebutan “mutakallimin” dari aliran Mu’tazilah dan lainnya sejak masa Washil ibn ‘Atha’ (80-131 H), dan dalam sebagian kitab para tokoh Mu’tazilah era Abu al-Hudzail ilmu Kalam sudah disebut sebagai disiplin ilmu tersendiri. Al-Khawarizmi (w. 387 H/997 M), dalam kitab Mafatih al-‘Ulum, yang membagi ilmu ke dalam dua rumpun, yaitu al-‘Ulum al-Syar’iyyah dan ‘Ulum al-‘Ajam, mencantumkan ilmu Kalam sebagai disiplin ilmu tersendiri dalam rumpun al-‘Ulum al-Syar’iyyah. Al-Ghazali (450-505 H) dalam kitab احياء علوم الدين )Revitalisasi Ilmu-Ilmu Agama), yang membagi ilmu dari sudut sumbernya ke dalam dua rumpun, al-‘Ulum al-Syar’iyyah/al-Naqliyyah dan al-‘Ulum al-‘Aqliyyah, memang tidak mengakui ilmu Kalam, dan filsafat, sebagai disiplin ilmu tersendiri, sebab ilmu Kalam merupakan ilmu keislaman general yang menjadi induk dan basis di mana semua ilmu keislaman lain adalah cabang yang berdiri di atasnya. Ibn Khaldun (732-808 H), yang mengklasifikasikan ilmu ke dalam dua rumpun, yaitu al-‘Ulum al-Thabi’iyyah (Ilmu –Ilmu Natural) atau al-‘Ulum al-Hikmiyyah al-Falsafiyyah (ilmu-ilmu kefilsafatan) yang merupakan milik seluruh umat manusia, dan al-‘Ulum al-Naqliyyah al-Wadl’iyyah (Ilmu Penurunan-Kultural) yang merupakan ilmu khusus umat Islam, mencantumkan ilmu Kalam sebagai disiplin ilmu tersendiri dalam rumpun al-‘Ulum al-Naqliyyah al-Wadl’iyyah. Al-Qalqasyandi (756-821 H), dalam bab بين العلماء والمشهور من الكتب المصنفة فيها ومؤلفيهم " " فى ذكر العلوم المتداولة dari kitabnya صبح الأعشى فى صناعة الآنشا , yang terdiri 7 ushul, ushul keduanya adalah tentang al-‘Ulum al-Syar’iyyah yang mengandung 9 ilmu, yaitu ilmu Nawamis, ilmu Qira’at, ilmu Tafsir, ilmu Riwayat Hadits, ilmu Dirayah Hadits, ilmu Ushuluddin, ilmu Ushul Fiqh, ilmu Jidal, dan ilmu Fiqh. Tasy Kubra Zadah (901-968 H), sarjana pertama di dunia yang memandang klasifikasi ilmu sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri, dalam kitabnya Miftah al-Sa’adah wa Mishbah al-Siyadah fi Maudlu’at al-‘Ulum, membagi kitabnya ke dalam 7 dauhah, dauhah ke-6 adalah al-‘Ulum al-Syar’iyyah yang terdiri 8 syu’bah (cabang), yaitu syu’bah ilmu Qira’at, ilmu Riwayat Hadits, ilmu Tafsir al-Qur’an, ilmu Dirayah Hadits, ilmu Ushul al-Din/Kalam, ilmu Ushul Fiqh, ilmu Fiqh, dan Furu’ ‘Ulum al-Syar’iyyah. Haji Khalifah (1017-1064) dalam Kasyf al-Zunun, menyebut hampir 20.000 judul kitab dan risalah secara alfabetis, antara lain kitab-kitab ilmu Kalam/Ushuluddin. Al-Mar’asyi, Sajuqli Zadah (w. 1145 H) dalam kitabnya ترتيب العلوم (Sistematika Ilmu-Ilmu), menguraikan secara sistematik : bahasa Arab, al-‘Ulum al-‘Aqliyyah seperti al-Mizan, al-Munazarah, Mabadi ‘Ilm al-Kalam, dan Riyadliyyat (Handasah, Hisab, Hai’ah), ilmu-ilmu yang diambil dari al-Kitab dan al-Sunnah yaitu ‘Aqa’id, Akhlaq, Mau’izah, ilmu Fiqh dan ilmu Ushul Fiqh, ‘Ulum al-Qur’an, dan ‘Ulum al-Hadits. Al-Tahanuwi (w. setelah 1158 H) menyebut ilmu Kalam/Ushuluddin sebagai disiplin ilmu tersendiri dengan nama Kalam atau al-Fiqh al-Akbar dalam kitabnya كشاف اصطلاحات الفنون (Penyingkap Istilah Disiplin-Disiplin) yang terdiri tiga bagian, yaitu al-‘Ulum al-‘Arabiyyah, al-‘Ulum al-Syar’iyyah (Kalam/ Fiqh Akbar, Tafsir, Qira’at, Isnad Hadits, Ushul Fiqh, Fiqh, Fara’id dan Suluk), dan al-‘Ulum al-Haqiqiyyah (Mantik, Hikmah, Ialhi, Riyadli, Thabi’i). BAB II ILMU KALAM SEBAGAI DISIPLIN ILMU A. Arti dan Nama Ilmu Kalam Ilmu Kalam merupakan sebuah disiplin ilmu dalam rumpun ilmu-ilmu keislaman (al-‘ulum al-syar’iyyah/al-‘ulum al-naqliyyah). Ia adalah ilmu yang membahas dasar-dasar agama Islam (ushul al-din), yaitu bagian akidah, dari sudut itsbat/tahqiq (penetapan/pembenaran) terhadapnya dan ibthal/hadam (pembatalan/ peruntuhan) terhadap ajaran lain yang menyalahi berupa kufur dan bid’ah, berdasarkan dalil naqli (al-Qur’an dan al-Sunnah) dan dalil ‘aqli (hukum akal), untuk memperoleh keimanan dan keyakinan yang pasti dan benar berdasarkan dalil-dalil tersebut sebagai pandangan hidup dan landasan amal. Para ahli ilmu telah mendefinisikannya antara lain sebagai berikut : 1. Al-Farabi (259-339 H), filosof muslim dan klasifikator ilmu pertama : بأنه علم يبحث فيه عن ذات الله وصفاته، وأحوال الممكنات من المبدإ والمعاد على قانون الاسلام. Dia (ilmu Kalam) adalah ilmu yang di dalamnya dibahas masalah Dzat Allah dan sipat-sipat-Nya, serta hal-ihwal semua yang mungkin sejak permulaan (penciptaan) sampai akhir kesudahan (akhirat) menurut kaidah-kaidah Islam. 2. Al-Bazdawi (421-493 H), ahli ilmu kalam dan ushul fiqh Maturidi : وعلم الكلام الذى اختلفوا فى تعلمه وتعليمه والتصنيف فيه : هو بيان المسائل التى هى أصول الدين التى تعلمها فرض عين. Ilmu Kalam yang diperselisihkan ulama mempelajari, mengajarkan dan menyusun buku tentangnya, adalah penjelasan tentang masalah-masalah yang merupakan dasar-dasar agama Islam yang hukum mempelajarinya fardlu kifayah. 3. Ibn Khaldun (732-801 H), sejarawan, sosiolog dan klasifikator ilmu : هو علم يتضمن الحجاج عن العقائد الايمانية بالأدلة العقلية والرد على المبتدعة المنحرفين فى الاعتقادات عن مذاهب السلف وأهل السنة. Ilmu Kalam adalah ilmu yang berisikan argumen-argumen tentang kebenaran akidah-akidah keimanan dengan dalil-dalil rasional, dan penolakan terhadap para penganut bid’ah yang menyimpang dalam masalah akidah dari mazhab Salaf dan Ahl al-Sunnah. 4. Al-Sayuthi (849-911 H), ahli berbagai ilmu keislaman : علم يبحث عما يجب اعتقاده. Ilmu Kalam adalah ilmu yang membahas apa yang wajib diitikadkan. 5. Tasy Kubra Zadah (901-968 H), ahli berbagai ilmu dan klasifikator ilmu : وهو علم يقتدر معه على اثبات الحقائق الدينية، بايراد الحجج عليها، ودفع الشبه عنه. Dia (ilmu Kalam) adalah ilmu yang bersamanya dimungkinkan mampu menetapkan hakekat-hakekat keagamaan, dengan mengemukakan argumen-argumen yang membenarkannya, dan menolak syubhat-syubhat yang menyalahkannya. 6. Definisi al-Mar’asyi (w. 1145 H), ahli berbagai ilmu dan klasifikator ilmu فهو علم يقتدر به على اثبات العقائد الدينية بايراد الحجج عليها ورفع الشبه عنها. Dia (ilmu Kalam) adalah ilmu yang dengannya dimungkinkan mampu menetapkan hakekat-hakekat keagamaan, dengan mengemukakan argumen-argumen yang membenarkannya, dan menolak syubhat-syubhat yang menyalahkannya. 7. Muhammad Yusuf Musa, cendekiawan muslim modern : هو علم يهدف الى بيان العقلئد الدينية كما ورد بها الكتاب والصحيح من السنة، والى الاستدلال لها، والدفاع عنها، وأخيرا الى الرد على الفرق الضالة بما ذهبت اليه فى هذه العقائد. Dia (ilmu Kalam) adalah ilmu yang bertujuan menjelaskan akidah-akidah keagamaan sebagaimana diajarkan al-Kitab dan al-Sunnah yang sahih, mengemukakan argumen-argumen yang mendukungnya, membelanya, dan akhirnya menolak aliran-aliran sesat dalam ajaran-ajaran yang dianutnya menyangkut akidah-akidah ini. Dari pengertian di atas terlihat bahwa ilmu Kalam mengandung dua unsur fundamental, yaitu tujuannya memperkokoh akidah Islam, dan materi akidahnya diambil dari ajaran akidah Islam dalam nash al-Qur’an dan al-Sunnah yang dipahami dan diperkokoh dengan dalil akal, dan mengandung dua aspek fundamental, yaitu aspek positif-konstruktif berupa itsbat/tahqiq terhadap ajaran akidah Islam sebagai haq (kebenaran), dan aspek negatif-dekonstruktif berupa ibthal/hadam/radd terhadap ajaran akidah lain yang menyalahi berupa kufur dan bid’ah sebagai bathil (kesalahan) atau dlalal (kesesatan). Esensi dan karakter khusus ilmu Kalam di atas terlihat pula dari latarbelakang dan sejarah kelahirannya. Ilmu ini sudah muncul sejak zaman Washil ibn ‘Atha’ (80-131 H), pendiri Mu’tazilah yang sekaligus bisa dianggap sebagai pendiri ilmu Kalam. Dari nama kitab-kitab karya Washil, seperti kitab “Ma’ani al-Qur’an”, kitab “al-Tauhid”, kitab “Al-Khuthab fi al-Tauhid wa al-‘Adl”, kitab “Ashnaf al-Murji’ah”, kitab “al-Manzilah bain al-Manzilatain”, kitab “Al-Da’wah”, kitab “al-Sabil ila Ma’rifat al-Haqq” dan kitab “Thabaqat Ahl al-‘Ilm wa al-Jahl”, dapat disimpulkan bahwa ilmu yang dikembangkan dan disebarkan Washil itu dimaksudkan sebagai “al-sabil ila ma’rifat al-haqq” (jalan untuk mengetahui kebenaran), yakni sistem atau metodologi pencapaian kebenaran (haqq) berupa ilmu sebagai lawan jahl (kebodohan). Haqq atau ilmu dimaksud adalah al-tauhid, al-‘adl, al-wa’d wa al-wa’id (lawan murji’ah), al-manzilah bain al-manzilatain dan al-dakwah (kemudian menjadi al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar), yang semua itu digali dari al-Qur’an. Nama kitab-kitab itu juga memperlihatkan isu-isu sentral dan fundamental mengenai agama Islam, yaitu mengenai dasar-dasarnya (ushuluddin), yang berkembang di kalangan umat Islam pada masanya yang melatarbelakangi kelahiran ilmu tersebut. Hanya saja Washil belum memberi nama ilmu ini, dan belum menyusun “al-Ushul al-Khamsah” sebagai sebuah sistem pemikiran yang baku dan khas Mu’tazilah. Aspek apologis dan dekonstruktif (ibthal/hadam) dari ilmu ini terlihat misalnya dari kitab-kitab Abu al-Hudzail al-‘Allaf (131-235 H), tokoh generasi kedua Mu’tazilah, seperti “Kitab al-Hujjah”, “Al-Hujjah ‘ala al-Mulhidin” dan kitab-kitab “al-Hujjah ‘ala ...” dan “al-Radd ‘ala ... “ lain yang diarahkan kepada lawan-lawannya terutama kaum sofis, mulhid, majusi, dualis, pluralis agama, yahudi, nasrani, murji’ah, jabariyah, qadariyah dan tasybih. Begitu pula dari kitab-kitab “al-Radd ‘ala ...” karya Bisyr ibn al-Mu’tamir yang diarahkan kepada kaum mulhid, khawarij dan juhhal. Kemudian ilmu ini memiliki beberapa nama, yaitu ilmu Tauhid, al-Fiqh al-Akbar, ilmu Kalam, ilmu Ushuluddin, dan ‘ilm al-‘Aqa’id. Ilmu ini disebut ilmu Tauhid علم التوحيد)) karena inti akidah Islam dan ilmu Ushuludin atau ilmu ‘Aqa’id adalah tauhid. Jika Washil ibn ‘Atha’ dengan kitabnya “al-Tauhid” dianggap sudah memberi nama bagi ilmu yang dikembangkan dan disebarkannya itu, maka bisa dikatakan bahwa nama ini merupakan nama tertua bagi ilmu tersebut, yang kemudian diperkuat oleh al-Maturidi dengan kitabnya yang berjudul “al-Tauhid”. Kurang masuk akal jika al-Ahwani menyebutkan bahwa nama ini baru muncul sejak abad ke-6 H. Tauhid (dari kata wahhada-yuwahhidu) secara lugawi berarti “menyatukan, menunggalkan, dan menganggap satu atau tunggal”. Dalam istilah syar’i, tauhid adalah mengimani atau mengitikadkan dengan keyakinan yang pasti bahwa Allah adalah tunggal dalam Dzat, Sipat, Asma’ dan Af’al-Nya, serta tunggal dalam kedudukan dan fungsi-Nya sebagai satu-satunya Rabb, Malik dan Ilah alam semesta termasuk manusia. Urgensi dan vitalitas tauhid, yang lawannya syirik (menyekutukan Allah dengan yang lain) terlihat dari fakta bahwa ia bukan hanya merupakan penggerak amal, tapi juga penentu amal, yakni amal apa pun, sekalipun berupa perbuatan baik (saleh) tidak bermakna dan sia-sia jika tidak dilandasi tauhid. Hal ini terlihat dari firman Allah SWT seperti dalam Q.S. 39 al-Zumar : 65-66 :                       Dan betul-betul telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan kepada orang-orang (para nabi dan rasul) dari sebelum kamu bahwa jika kamu melakukan syirik pasti hancurlah amal kamu dan pasti kamu termasuk orang-orang yang merugi. # Melainkan kepada Allah-lah kamu harus menyembah, dan jadilah kamu dari kalangan orang-orang yang bersyukur. Abu Hanifah (80-150 H), yang semasa dengan Washil ibn ‘Atha’ (80-131 H), menami ilmu ini dengan al-Fiqh al-Akbar الفقه الأكبر ) ), “Fiqh Besar”, sebagai imbangan dari al-Fiqh al-Ashgar الفقه الأصغر ) ), “Fiqh Kecil”. Fiqh Akbar adalah fiqh mengenai akidah atau keimanan Islam, sedangkan Fiqh Ashgar adalah fiqh mengenai syari’ah atau hukum-hukum amaliah Islam. Dengan penamaan ini mungkin Abu Hanifah bermaksud menunjukkan bahwa ilmu ini sebagai hasil pemikiran dan pemahaman mendalam manusia terhadap ajaran akidah Islam dalam al-Qur’an dan al-Sunah yang mencakup rukun iman yang enam tidak identik dengan ajaran akidah Islam sendiri, sebagaimana Fiqh Ashgar sebagai disiplin ilmu dan hasil pemikiran dan pemahaman mendalam (ijtihad) manusia mujtahid tidak identik dengan hukum Allah sendiri yang berupa syari’at Islam. Jadi ilmu akidah/ushuluddin sebagai disiplin ilmu dan formulasi manusia tidak identik dengan akidah Islam/ushuluddin sebagai ajaran Allah yang menjadi obyek ilmu manusia tersebut. Selain itu, mungkin maksud Abu Hanifah dengan penamaan “Fiqh Akbar” tersebut untuk membedakan kajian atau ilmu ushuluddin versi Abu Hanifah yang lebih tradisionalis, yang disebutnya ‘Fiqh Akbar”, dengan versi Mu’tazilah yang disebut “ilmu Tauhid” atau “ilmu Kalam” jika istilah terakhir sudah muncul, sebab ketika itu kajian masalah ushuluddin secara sistematik dikendalikan dan didominasi oleh kaum Mu’tazilah seperti Washil ibn ‘Atha’ dan ‘Amr ibn ‘Ubaid yang lebih rasionalis. Menurut al-Syahrastani, ia disebut ilmu Kalam ) علم الكلام ) pertama kali oleh kaum Mu’tazilah, mungkin karena obyek kajiannya yang paling populer adalah masalah kalam Allah, dan mungkin dimaksudkan sebagai tandingan bagi mantiq yang diciptakan kaum filosof, sebab kata “kalam” semakna dengan “mantiq”. Menurut Ibn Khaldun, ia disebut ilmu kalam mungkin karena berisikan munazarah (polemik) terhadap kebid’ahan-kebid’ahan sebagai kalam (wacana) murni yang tidak menyangkut amal, atau karena sebab penyusunan dan pengkajiannya adalah polemik dalam menetapkan kalam nafsi (kalam yang berupa ide-ide dalam diri Tuhan). Menurut Hasan Ibrahim Hasan, kalam dimaksud adalah kalimat-kalimat yang pada masa ‘Abbasiyah disusun menurut model ilmiah atau jadali (dialektik-apologetik), khususnya mengenai masalah akidah. Orang-orang yang menekuni ilmu ini disebut “mutakallimin”. Sebutan ini mulanya dipakai untuk menunjuk orang-orang yang menekuni masalah akidah keagamaan, tapi kemudian dipakai untuk menunjuk orang-orang yang menentang Mu’tazilah dan mengikuti Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Nama ini sudah muncul sejak dini, sebab pada masa Bisyr ibn al-Mu’tamir (w. 210 H) sebutan “kalam” sudah demikian populer bahkan mendapat citera buruk, sehingga ia menyusun kitab dengan nama “Al-Radd ‘ala Man ‘Aba al-Kalam”. Begitu pula ‘Isa ibn Shubaih al-Mirdar (w. 226 H), menyusun kitab dengan nama “Kalam Ahl al-‘Ilm wa Ahl al-Jahl”, bahkan “Funun al-Kalam”. Kalau dilihat fakta bahwa Zargan al-Iswari, kawan Abu al-Hudzail, menyusun kitab dengan nama “al-Maqalat”, Abu Manshur al-Maturidi (w. 333 H) menyusun kitab dengan nama “al-Maqalat” (fi ‘Ilm al-Kalam), dan Abu al-Hasan al-Asy’ari menamai kitab kalamnya dengan “Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin”, dan dalam kitab ini ia sering menyebut kata “mutakallimin” dan “ahli kalam”, bahkan ia menyusun kitab dengan nama “Istihsan al-Khaudl fi al-Kalam”, dapat disimpulkan bahwa “kalam” di sini adalah maqalat atau kalimat-kalimat yang merupakan pernyataan dari proses dan hasil pemikiran atau bahasan. Jika dihubungkan dengan nama kitabnya yang lain, al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah, dan dengan kitab al-Iswari yang lain, yaitu “Ushuluddin”, dapat disimpulkan bahwa pernyataan proses dan hasil bahasan atau pemikiran tersebut merupakan penjelasan mengenai dasar-dasar keberagamaan. Dengan demikian, ilmu Kalam adalah sistem kajian ilmiah yang terdiri atas metodologi dan proses serta hasilnya mengenai dasar-dasar agama Islam, dan pada masa al-Asy’ari (260-324 H) sudah dinamai ilmu Kalam. Ilmu ini disebut ilmu Ushuluddin ( علم أصول الدين ) karena obyek kajiannya dasar-dasar agama Islam, dalam arti ajaran Islam yang menjadi bagian dasarnya, yaitu bagian keimanan atau akidah, yang mencakup rukun iman yang enam (iman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab Allah, para rasul Allah, hari Akhir dan qadla-qadar Allah) berikut dasar-dasar penetapannya secara tekstual dan rasional, serta hal-hal lain yang berkaitan, seperti mabadai’ atau muqaddimah-muqaddimah (prinsip-prinsip dasar epistemologis), dan lawahiq atau lawazim-nya (konsekuensi-konsekuensi logisnya), sebagai lawan dari “furu’ al-din”, yaitu cabang-cabang agama Islam dalam arti ajaran Islam yang merupakan cabang-cabangnya, yaitu bagian akhlaq dan syari’ah atau etika/moral dan hukum syara’ mengenai karakter dan perbuatan lahir manusia. Nama ini sudah muncul setidak-tidaknya sejak masa al-Mirdar, sebab ia sudah menyusun kitab dengan nama “Ushuluddin” seperti telah disebutkan, dan Abu al-Hasan al-Asy’ari dengan nama “al-Tibyan ‘an Ushuliddin” dan “al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah” yang identik dengan kalam dan maqalat. Kata "أصل" (jamaknya أصول) berarti dasar, pangkal, akar, asas dan pokok, yaitu “ma yubna ‘alaihi ghairuhu” (sesuatu yang di atasnya dibangun sesuatu yang lain). Lawannya adalah fara’ (jamaknya furu’) yang berarti cabang, yaitu apa yang lahir dari, dibangun di atas, atau berpangkal pada ushul tersebut. Ini berarti : (a) semua ilmu keislaman lain merupakan ilmu-ilmu cabang yang berdiri dan terbentuk di atas asas ilmu Ushuluddin; (b) semua amal atau perbuatan ikhtiari (yang disadari dan dikehendaki) manusia, baik secara individual maupun komunal, lahir dari keyakinan yang dimilki dan dianutnya berupa iman, akidah dan ma’rifah, sehingga pepatah Arab mengatakan “al-hayat ‘aqidatun wa jihadun” (hidup adalah keyakinan dan perjuangan); dan (c) perbaikan dan penghancuran manusia, baik sebagai individu maupun sebagai komunitas, akan lebih efektif jika dimulai dengan perbaikan dan penghancuran keimanan, akidah dan pemikirannya. Karena itu dakwah Rasulullah SAW dalam periode Makkiyyah selama + 13 tahun terfokus pada pembinaan akidah, yaitu mengajarkan akidah Islam sebagai akidah yang haq dan menunjukkan kebenarannya, sekaligus menghancurkan akidah kufur atau jahiliyah sebagai akidah batil dan menunjukkan kesalahannya. Perlu diingatkan, bahwa ushuluddin mencakup dua aspek dari din al-Islam, yaitu aspek substansial atau obyektif berupa materi ajaran Islam mengenai akidah yang mencakup rukun iman yang enam, dan aspek formal atau subyektif berupa ajaran Islam mengenai kewajiban mukallaf untuk mengimani dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, serta mendakwahkan dan mendidikkannya kepada orang lain secara universal dan eternal sebagai taklif bagi semua mukallaf dan rahmat bagi seluruh alam. Al-Syahrastani menyebutkan dua arti ushul lain, selain akidah dan ma’rifah seperti di atas, yaitu “setiap masalah yang padanya kebenaran hanya satu di antara dua pihak yang berseteru”, dan “segala sesuatu yang ma’qul (rasional) dan dapat dicapai dengan nazhar (penalaran) dan istidlal (berargumentasi), sebagai imbangan dari segala sesuatu yang bersipat mazhnun (bersipat dugaan) dan dapat dicapai dengan analogi dan ijtihad yang terkategori furu’ (cabang). Ini berarti, pertama, bahwa kebenaran dalam masalah akidah atau ushuluddin, yang bersipat khabari (informatif) dan berkisar pada masalah itsbat (penetapan) dan nafyi (peniadaan) serta shidq (benar) dan kadzib (bohong) itu, pada masalah yang sama dan aspek yang sama adalah tunggal. Karena itu, semua konsep, deskripsi dan eksplanasi serta semua proposisi (putusan dan statemen) mengenai ushuluddin harus mencapai tingkat i’tiqad (keyakinan) yang jazim (pasti) dan muthabiq (sesuai dengan realitas obyek) berdasarkan mujib (preseden atau bukti) tertentu, yang disebut ilmu, bukan zhan (dugaan), syak (keraguan), wahm (lawan zhan) seperti takhmin (spekulasi), dan jahl (ketidaktahuan). Dengan demikian, ilmu Ushuluddin sebagai ilmu mudawwan, yaitu sebuah disiplin ilmu, harus tersusun pada dasarnya dari konsep-konsep (tashawwurat) dan proposisi-proposisi (tashdiqat) yang berupa satuan ilmu mutlak-ilmu mutlak sebagai “hukm al-dzihni al-jazimu al-muthabiqu li mujibin”. Ini tidak menolak fakta bahwa sebagian isi kitab-kitab ilmu kalam ada yang bukan ilmu, dan bahwa sebagian pendapat atau akidah mengenai ushuluddin dapat di-tarjih oleh sebagian lain seperti kata al-Ghazali, yakni dalam ilmu Ushuluddin pun ada ijtihad, yaitu mengenai aspek-aspek ijtihadi dari obyeknya. Kedua, ilmu ushuluddin hanya bisa mencapai tingkat kepastian dalam masalah-masalah yang termasuk kawasan rasional ( المعقولات ), yaitu yang terjangkau akal ( ما ناله العقل ), sedangkan dalam masalah-masalah transendental, yaitu yang tak terjangkau akal ( ما لا يناله العقل ) tidak bisa kecuali pada aspek kemungkinan ada dan terjadinya, dan pembatalan semua tesis yang memustahilkan yang mungkin serta tesis irrasional yang dibentengi dengan dalih “transenental” seperti sebagian dogma kristiani. Ilmu ini disebut ilmu ‘Aqa’id ( علم العقائد ), karena obyek kajiannya bagian akidah atau keimanan dari agama Islam yang harus menjadi akidah (keyakinan hidup) umat manusia khususnya para mukallaf. Karena itu al-Sayuthi mendefinisikan ilmu ini dengan " علم يبحث عما يجب إعتقاده " (ilmu yang membahas tentang apa yang wajib diitikadkan). Nama ini sudah muncul setidak-tidaknya sejak masa Ahmad ibn Muhammad al-Thahawi (238-321 H), sebab ia sudah menyusun kitab dengan nama “Kitab al-‘Aqidah”. Tidak tepat tesis al-Zuhaili bahwa nama ini muncul belakangan (mustahdatsah), kecuali dalam arti paling belakang di antara nama-nama lain. ‘Aqidah secara etimologis berarti : " ما عقد عليه القلب والضمير، أو هى ما تدين به الانسان واعتقده. Sesuatu yang diyakini oleh qalbu dan lubuk hati, atau sesuatu yang menjadi agama dan keyakinan hidup manusia. Secara terminologis ia berarti : والعقيدة اصطلااحا هى البديهة التى تستقر فى العقل الباطن للانسان، وتؤثر فى حدثه وشعوره، وتوجهه فى تفكيره وسلوكه. Ia adalah sesuatu yang a priori (jelas dan pasti) yang tetap dalam akal batin manusia, dan berefek pada intuisi dan emosi-emosinya, serta mengarahkan pemikiran dan prilakunya). ‘Aqidah mirip dengan iman yang berarti tashdiq (membenarkan). Al-Zuhaili merumuskannya dengan : ما انعقد عليه القلب، وصدقه اللسان، وعملت به الجوارح. Apa yang diyakini dengan qalbu, dibenarkan dengan lisan dan diamalkan dengan organ tubuh. Masalah iman dan hubungannya dengan amal dibahas tersendiri dalam ilmu Kalam. Adapun sebutan “teologi Islam” bukan nama resmi ilmu Kalam, tapi sebutan yang diberikan kaum orientalis dan pengikutnya, karena mereka biasa menyebut ilmu Ketuhanan mereka dengan istilah “theology” yang dipisahkan dari filsafat dan sains. Reese, misalnya, menjelaskan arti theology dengan “discourse or reason concerning God” (wacana atau pemikiran tentang Tuhan). Selanjutnya ia, dengan mengutip William Ockham, mengatakan “Theology to be a discipline resting on revealed truth and independent of both philosophy and science (Teologi merupkan disiplin ilmu yang bermuara pada kebenaran yang diwahyukan, dan bebas baik dari filsafat maupun dari sains). Isi theologi Kristen jauh berbeda dengan isi ilmu Tauhid/ Ushuluddin/’Aqa’id/Kalam Islam, baik segi substansi, bentuk, struktur, dan karakter maupun cakupannya, dan nama tersebut (lahut) tidak pernah dipakai di sepanjang sejarah Islam (ilahiyyat atau al-‘ilm al-ilahi dalam khazanah intelektual muslim adalah filsafat), kecuali oleh Harun Nasution di Indonesia dengan bukunya “Teologi Islam” sejak tahun 1970-an. Perlu dijelaskan arti penyandaran kata “ilmu” kepada “kalam”. Menurut Mar’asyi, penyandaran kata “ilmu” kepada “kalam” dan lainnya dari nama-nama ilmu sama dengan penyandaran kata “pohon” kepada “arak” dalam kata “pohon arak”, di mana nama ilmu merupakan mudlaf ilaih (tempat menyandarkan). Artinya, “kalam” itu merupakan nama bagi sebuah disiplin ilmu, yaitu ilmu mengenai atau tentang akidah Islam sebagaimana definisi di atas, bukan ilmu mengenai atau tentang kalam. Karena itu sebutan “ilmu Kalam” atau “Kalam” saja dalam kitab-kitab ilmu Kalam, juga dalam buku ini, dipakai dalam arti yang sama. B. Maudlu’ (Obyek Bahasan) Ilmu Kalam Tasy Kubra Zadah mengemukakan bahwa maudlu’ ilmu Kalam menurut ulama mutaqaddimin (terdahulu) adalah Dzat Allah dan sipat-sipat-Nya, atau maujud (yang ada) dari sudut bahwa dia ada. Bedanya dengan ilmu Ilahi (filsafat) yang juga membahas hal-ihwal maujud mutlak (yang ada secara mutlak) adalah dari sudut tujuan, di mana bahasan ilmu Kalam berdasarkan kaidah-kaidah syara’, sedangkan bahasan ilmu Ilahi berdasarkan konklusi-konklusi akal semata. Menurut ulama muta’akhkhirin (terkemudian), maudlu’ ilmu Kalam adalah al-ma’lum (yang diketahui) dari sudut fungsinya sebagai dasar penetapan akidah keagamaan. Yang dimaksud “keagamaan” di sini adalah yang dinisbahkan kepada agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW, di mana seseorang menerima akidah tersebut secara taslim (mengimani dan mengakui tanpa reserve), kemudian diperkuat dengan dalil-dalil akal. Taslim inilah makna tadayyun (beragama) yang sesuai dengan status manusia sebagai mukallaf, sehingga apabila ilmu ini tidak diambil daripadanya tidak disebut ilmu Kalam sebagai ilmu keagamaan atau keislaman sekalipun isinya sesuai dengan ilmu Kalam, karena tidak mengandung unsur perintah beragama, tapi dianggap sebagai bagian dari ilmu kefilsafatan. Karena itu ilmu Kalam harus memenuhi dua syarat. Pertama, tujuannya memperkokoh syara’ dengan akal. Kedua, isi akidahnya diambil dari al-Kitab dan al-Sunnah. Apabila salah satu dari kedua syarat tersebut tidak terpenuhi, ilmu itu bukan ilmu kalam sama sekali. Penjelasan Tasy Kubra di atas sejalan dengan penegasan Ibn Khaldun sebagai berikut : وعلى الجملة فموضوع علم الكلام عند أهله انما هو العقائد الايمانية بعد فرضها صحيحة من الشرع، من حيث يمكن أن يستدل عليها بالأدلة العقلية فترفع البدع وتزول الشكوك والشبه عن تلك العقائد. Singkatnya, maudlu’ ilmu Kalam menurut ahlinya hanyalah akidah-akidah keimanan sesudah penetapan kesahihannya dari syara’, dari sudut kemungkinan pembuktiannya dengan dalil-dalil rasional sehingga hilanglah bid’ah, keraguan dan kekaburan terhadap akidah-akidah tersebut. Al-Zuhaili menegaskan bahwa maudlu’ ilmu Ushuluddin atau ilmu Tauhid terbatas pada sesuatu yang ada dalam al-Qur’an dan Hadits shahih, yaitu rukun iman yang enam, yakni iman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab Allah, para rasul Allah, hari Akhir dan qadla-qadar Allah, berikut hal-hal yang berkaitan dengannya atau bercabang daripadanya dari apa yang ada dalam nash-nash syara’. Singkatnya, maudlu’ ilmu Kalam/Ushuluddin adalah akidah Islam sebagaimana dalam nash al-Qur’an dan al-Sunnah yang tercakup dalam rukun iman yang enam berikut hal-hal yang berkaitan dengannya, seperti masalah ilmu dan nalar yang menjadi mukaddimahnya, atau bercabang daripadanya, seperti masalah imamah, al-bala’ wa al-jaza’, kaidah takfir dan tabdi’, al-wala’ wa al-bara’ dan lainnya yang menjadi lawazim dan lawahiq-nya (konsekueni dan implikasi logisnya), dari sudut itsbat/tahqiq terhadapnya sebagai haq dan ibthal/hadam terhadap ajaran lain yang menyalahi sebagai bathil atau dlalal. Struktur kajian ilmu Kalam semua aliran pada dasarnya sama, yaitu dimulai dengan mukaddimah berupa kajian masalah ilmu dan nalar serta hal-hal lain yang berkaitan, yang tercakup dalam madarik al-‘uqul, mantiq, mahk al-nazr, mi’yar al-‘ilm atau sebutan lain yang semakna, kemudian isi utama ilmu kalam, dan diakhiri dengan kaidah takfir dan tabdi’ (pengkapiran dan pembid’ahan). Mengenai isi utama, struktur kajian beberapa aliran bervariasi. Struktur isi utama kalam Mu’tazilah, yang disebut al-Ushul al-Khamsah (Ajaran Dasar yang Lima) adalah : al-Tauhid (menunggalkan Allah), al-‘Adl (Keadilan), al-Wa’d wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman), al-Manzilah bain al-Manzilatain (Posisi di antara Dua posisi) dan al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar (Menyuruh Kebaikan dan Mencegah Keburukan, yang mencakup imamah). Struktur isi utama kalam Sunni adalah : ‘aqidah Rububiyyah/Uluhiyyah (Akidah mengenai Ketuhanan), ‘aqidah Nabawiyyah (Akidah mengenai Kenabian), ‘aqidah Sam’iyyat (Akidah mengenai segala sesuatu yang diberitakan oleh Nabi berupa alam gaib seperti akhirat), dan Imamah. Struktur isi utama kalam Syi’ah adalah : al-Tauhid, al-‘Adl, al-Nubuwwah, al-Imamah, al-Ma’ad dan kadang ditambah secara tidak formal dengan Fadl al-Imam al-Husain wa Sirru Syahadatih. Penulis menambah topik kajian berupa al-Bala’ wa al-Jaza’ yang selama ini belum menjadi bagian formal ilmu Kalam. Hal ini berdasarkan dalil naqli khususnya Q.S. 9 : 33, 61 : 9 dan 48 : 28, dalil ‘aqli berupa dalil talazum (konkomitan), hukum kausalitas, konsekuensi dan implikasi, dan dalil waqi’i (empirik-sensual) berupa fakta sosio-historis sepanjang zaman. C. Masa’il (Permasalahan) Ilmu Kalam Masa’il atau problem ilmu Kalam dari sudut itsbat/tahqiq adalah bagaimana menemukan dan mempertahankan akidah atau keputusan akal yang pasti (jazim) dan benar (muthabiq) pada mukallaf (yang dibebani hukum syara’ yaitu manusia dewasa dan berakal) sebagai ilmu mengenai dan yang sesuai dengan ajaran-ajaran dasar agama Islam dalam al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai ajaran akidah yang sahih yang merupakan haq (kebenaran), dan dari sudut ibthal/hadam adalah bagaimana membatalkan dan menghilangkan akidah yang salah (bathil) sebagai jahl (ketidaktahuan), dlalal (kesesatan) atau syubhat (kekaburan), baik yang terkategori kufur maupun bid’ah, sehingga kesehatan akidah mukallaf terpulihkan. Masa’il ilmu Ushuluddin yang berkaitan dengan kesehatan rohani manusia, bisa dibandingkan dengan masa’il ilmu kedokteran yang berkaitan dengan kesehatan badan manusia. Masa’il ilmu kedokteran adalah bagaimana cara memelihara dan mempertahankan kesehatan badan secara preventif, dan mengobati serta memulihkan kesehatannya apabila sakit secara kuratif. Oleh karena itu semua konsep, tesis, teori dan eksplanasi, termasuk dalam sebagian kitab ilmu kalam, yang tidak sesuai dengan masa’il ilmu Kalam, seperti mengaburkan ajaran akidah Islam, memperlemah akidah mukallaf atau menimbulkan syak terhadapnya pada mukallaf, atau komentar yang tidak menguntungkan dan tidak merugikan, seperti deskripsi yang tanpa verifikasi ( itsbat/tahqiq) dan/atau falsifikasi (ibthal/hadam), bukanlah dari ilmu Kalam, tapi racun yang masuk ke dalam kitab kalam, atau komentar tentang ilmu Kalam yang termasuk sosiologi agama. Ini tidak berarti bahwa kitab kalam tidak boleh memuat akidah kufur atau bid’ah, tapi sebaliknya kitab kalam harus mengemukakannya bila perlu untuk meng-ibthal/hadam-nya, seperti terlihat dalam mayoritas kitab-kitab kalam, seperti Syarh al-Ushul al-Khamsah karya ‘Abd al-Jabbar, al-Syamil karya al-Juwaini, Syarh al-Mawaqif karya al-Jurjani, dan sebagainya. Yang dipertimbangkan dalam ilmu Kalam adalah menetapkan apa yang ada dalam akal dengan syara’ semata apabila syara’ ber-tawaqquf mengenai masalah tersebut, atau dengan akal dan syara’ bersama-sama apabila tidak demikin. Adapun menetapkan sesuatu yang tidak ada dalam syara’ sama sekali, ada dua alternatif. Pertama, jika menyalahi syara’, maka mengemukakannya dalam kitab kalam hanya semata-mata untuk menolak dan membatalkannya. Kedua, jika tidak menyalahi syara’, maka mengemukakannya dalam kitab kalam, bila terjadi, hanya merupakan pengluasan kajian saja untuk penyempurnaan ilmu kalam sebagai disiplin ilmu apabila lahir dari mabadi-nya, jika tidak, tidak boleh dimasukkan ke dalamnya. Al-Mar’asyi menyebutkan bahwa ilmu ini mempunyai mabadi’ (dasar-dasar) dan maqashid (permasalahan pokok). Mabadi-nya adalah masalah-masalah rasional, seperti bahasan-bahasan tentang dalil-dalil dan tentang jauhar dan ‘aradl. Maqashid-nya adalah masalah-masalah i’tiqadiyah. Masalah-masalah i’tiqadiyah dihimpun dengan tiga model/martabat sbb.: 1. Martabat pertama iqtishar (ringkas) : terbatas pada pemaparan masalah-masalah tanpa disertai dalil-dalil dan sanggahan para penyanggah. Misalnya kitab al-Fiqh al-Akbar karya Abu Hanifah, Nuzhum al-Amali (tidak jelas pengarangnya), al-‘Aqa’id al-Nasafiyyah karya al-Nasafi (w. 537 H), dan Syarh al-Fiqh al-Akbar karya ‘Ali al-Qari. Kodifikasi dalam martabat ini disebut “Ilmu Tauhid dan Sipat”, karena tauhid dan sipat merupakan kajian utamanya, sebagaimana dalam Syarh al-‘Aqa’id al-Nasafiyyah karya al-Taftazani. Kodifikasi model ini tidak disebut “kalam” kecuali secara majazi (metaforik). 2. Martabat kedua iqtishad (menengah) : memaparkan masalah-masalah akidah disertai dalil-dalil, tetapi tidak meluas dan tanpa menyebut sanggahan terhadap aliran lian kecuali sedikit. Misalnya kitab al-Risalah al-Qudsiyyah dan al-Iqtishad karya al-Ghazali. 3. Martabat ketiga istiqsha’ (meluas) : meluas dalam dalil-dalil, ditambah dengan apologi dan polemik terhadap aliran-aliran yang menyalahi. Kalam dalam martabat ini terbagi dua macam, yaitu : (1) Kalam qudama’ (orang-orang terdahulu), yaitu yang mayoritas khilafiyah-nya dengan aliran-aliran dalam Islam terutama Mu’tazilah. Misalnya kitab-kitab kalam karya Abu Ishaq al-Isfarayaini dan kitab Hidayat al-Mustarsyidin fi al-Kalam karya Abu Bakar al-Baqillani. (2) Kalam muta’akhkhirin (orang-orang terkemudian), yaitu kalam yang selain hal di atas membaurkannya pula dengan filsafat dan sanggahan terhadap kaum filosof. Misalnya kitab-kitab kalam Fakhruddin al-Razi, kitab Thawali’ karya al-Baidlawi dan yang mengikuti keduanya, al-Mawaqif fi ‘Ilm al-Kalam karya ‘Adlduddin al-Iji (w. 756 H) dan al-Maqashid fi ‘Ilm al-Kalam karya Sa’duddin al-Taftazani (disusun tahun 784, w. 791 H). Mengenai kalam model ini al-Mar’asyi mengutip statemen al-Subki dalam kitabnya Mu’id al-Ni’am wa Mubid al-Niqam sebagai berikut : ولقد حصل ضرر عظيم على المسلمين بمجز كلام الفلاسفة بكلام المسلمين، وما كان ذلك الا فى زماننا هذا وقبله بيسير، منذ نشأ نصير الطوسى ومن تابعه، ولا حياهم الله، ولم أجد أضر على أهل عصرنا وأفسد لعقلئدهم من نظرهم فى الكتب الكلامية التى أنشأها المتأخرون بعد نصير الطوسى. Telah muncul bahaya besar akibat pembauran filsafat filosof dengan kalam umat Islam, yang hal ini hanya terjadi sejak masa kita atau sebelumnya sedikit, yaitu sejak munculnya Nashiruddin al-Thusi dan para pengikutnya, semoga tidak dihidupkan oleh Allah, dan aku tidak menemukan sesuatu yang lebih berbahaya bagi masyarakat pada zaman kita, dan yang lebih merusak bagi akidah mereka, dari mempelajari kitab-kitab kalam yang dikarang oleh orang-orang belakangan pasca Nashiruudin al-Thusi. Tetapi mengenai kitab al-Mawaqif dan al-Maqashid, al-Mar’asyi menegaskan bahwa keduanya tidak mengikuti model al-Razi dan al-Baidlawi, sebab keduanya, sekalipun mengutip akidah-akidah kaum filosof, keduanya tidak membungkus dan menyusupkannya ke dalam akidah Islam, melainkan menegaskan bahwa keduanya mengutip dari kaum filosof dan diakhiri dengan penolakan terhadapnya. Al-Mar’asyi mengecam keras kitab model terakhir, seperti Risalat Itsbat al-Wajib karya Jalal al-Din al-Dawani (w. 908 H), dengan kitab-kitab syarah dan hasyiyah-nya, di mana sebagian mahasiswa menghabiskan waktu sekitar 1 tahun untuk mempelajarinya, padahal isinya hanya satu masalah yaitu bahwa alam ini mempunyai pencipta yang wajib ada, dengan argumen-argumen yang panjang tapi lemah, dan mujadalah yang banyak, yang bergelimang padanya tidak menghasilkan apa-apa selain pelemahan akidah dan mendatangkan keraguan yang membinasakan bagi yang yakin, dan menambah keraguan bagi yang ragu. Karena itu menekuni kitab seperti Risalah tersebut adalah haram. D. Mabadi’ (Dasar-dasar Epistemologis) Ilmu Kalam Mabadi’ (dasar-dasar epistemologis) yang menjadi titik-tolak ilmu Kalam dalam memecahkan semua permasalahannya adalah teks wahyu berupa al-Qur’an dan al-Sunnah, khususnya mengenai keimanan dan penalaran, berikut semua ilmu keislaman (al-‘ulum al-syar’iyyah/al-naqliyyah), dan akal berikut ilmu penalaran akal (logika), yaitu mantik yang oleh ulama mutakallimin disebut “madarik al-‘uqul” sarana penangkapan akal) dan oleh al-Ghazali disebut “mahk al-nazr” (kritik nalar), “mi’yar al-‘ilm” (neraca ilmu) dan al-qisthas al-mustaqim” (timbangan yang lurus) sebagai “muqaddamat al-‘ulum kulliha” (mukaddimah ilmu-ilmu seluruhnya). Teks wahyu berupa nash al-Qur’an dan hadits berikut dilalah (penunjukannya kepada makna) itulah yang disebut dalil naqli, sedangkan penalaran akal yang sahih terhadap fakta yang sahih dan relevan sesuai hukum akal disebut dalil ‘aqli (argumen rasional). Seperti disebutkan Tasy Kubra Zadah, sebagian ulama memasukkan mantik ke dalam ilmu kalam, agar ilmu keislaman yang paling tinggi, yaitu ilmu Kalam, tidak memerlukan ilmu yang bukan syar’i. Ini tidak menjadi masalah, sebab urusan tadwin (pengorganisasian) termasuk urusan istihsani di mana semua orang dapat melakukan apa yang menurutnya baik. Menurut al-Ghazali, mantik sekalipun sebagai sebuah disiplin ilmu dirumuskan secara sistematik oleh Aristoteles, tetapi ia berasal dari shuhuf (lembaran-lembaran tulisan wahyu) Nabi Ibrahim yang kemudian berkembang di Yunani sehingga sampai kepada Aristoteles. Karena secara historis ia berasal dari shuhuf Nabi Ibrahim (wahyu), dan secara substansial merupakan neraca ilmu dan timbangan yang lurus sehingga harus menjadi mukaddimah ilmu-ilmu seluruhnya, maka al-Ghazali menamainya dengan nama syar’i yang diambilnya dari al-Qur’an yaitu “al-qisthas al-mustaqim”. Ia mengatakan : بل هى مقدمة العلوم كلها، ومن لا يحيط بها فلا ثقة له بعلومه أصلا. “Bahkan ia (madarik al-‘uqul/mantik) adalah mukaddimah ilmu-ilmu seluruhnya, dan barangsiapa yang tidak menguasainya tidak dapat mempercayai kebenaran ilmunya sendiri sama sekali.” Tasy Kubra Zadah mengatakan : ومن قال : المنطق علم غير شرعى، ان أراد بذلك ما يخالف الشرع، فهذا من عدم الوقوف على المسائل المنطقية، وان أراد أنه غير مأخوذ من الشرع صورة، فليس كذلك، إذ كم من أقيسة برهانية واردة فى الشرع، وان أراد أنه مما وضعته الفلاسفة مادة، فليس فى ذلك نقص بعد، ان لم يخالف الشرع، مثلا علم الحساب الذى وضعته الفلاسفة، له مدخل عظيم فى كثير من الأمور الشرعية، ولم يقدح فيه أحد من علماء الشريعة. “Dan orang yang mengatakan bahwa mantik adalah ilmu yang bukan syar’i, jika yang ia maksud dengan statemen itu adalah sesuatu yang menyalahi syara’, maka ini terbit dari ketiadaan penguasaan masalah-masalah mantik; jika yang ia maksud adalah bahwa bentuk pemikiran mantik tidak diambil dari syara’, tidaklah demikian, sebab betapa banyak qiyas-qiyas burhani (sillogisme-sillogisme) yang ada dalam syara’, dan jika yang ia maksud adalah bahwa materi mantik termasuk ciptaan kaum filosof, maka dalam hal demikian tidak ada cacatnya jika tidak menyalahi syara’, seperti ilmu hitung (arithmatika) yang diciptakan kaum filosof, ia masuk ke dalam banyak perkara syara’, dan tidak ada seorang pun dari ulama syari’ah yang mengkritiknya”. E. Ghayah (Tujuan) Ilmu Kalam Menurut al-Ghazali, tujuan ilmu Kalam adalah memelihara akidah ahl al-Sunnah pada ahl al-Sunnah dan menjaganya dari pengacauan. ahli bid’ah. Selengkapnya ia mengatakan : وانما مقصوده حفظ عقائد أهل السنة على أهل السنة وحراستها عن تشويش أهل البدعة، فقد ألقى الله سبحانه الى عباده على لسان رسول الله صلى الله عليه وسلم عقيدة هى الحق على ما فيه صلاح دينهم ودنياهم كما نطق بمعرفته القرآن والأخبار، ثم ألقى الشيطان فى وساوس المبتدعة أمورا مخالفة للسنة فلهجوا بها وكادوا يشوشون عقيدة الحق على أهلها، فأنشأ الله سبحانه طائفة المتكلمين وحرك دواعيهم لنصرة السنة المأثورة بكلام مرتب يكشف عن تلبيسات أهل البدع المحدثة على خلاف السنة المأثورة فمنه نشأ علة الكلام وأهله، ولقد قام طائفة منهم بما أيدهم الله تعالى فأحسنوا الذب عن السنة والنضال عن العقيدة المتلقاة بالقبول من التبوة والتغير فى وجه ما أحدث من البدعة.... Maksudnya (ilmu Kalam- pen) hanyalah memelihara akidah ahl al-Sunnah pada ahl al-Sunnah dan menjaganya dari pengacauan ahli bid’ah. Allah S.w.t. telah menurunkan kepada hamba-hamba-Nya melalui lisan Rasulullah S.a.w. suatu akidah yang merupakan kebenaran dan mengandung apa yang menimbulkan kemaslahatan keagamaan dan keduniaan mereka sebagaimana diajarkan oleh al-Qur’an dan al-Sunnah. Kemudian syetan melontarkan ke dalam wiswas para penganut bid’ah perkara-perkara yang menyalahi al-Sunnah sehingga mereka menetapinya dan hampir saja mengacaukan akidah kebenaran pada penganutnya. Kemudian Allah S.wt. membangkitkan sekelompok ahli Kalam dan menggerakkan motif mereka untuk membela al-Sunnah yang diperoleh dari Nabi dengan kalam yang sistematik yang menyingkap pengaburan penganut bid’ah yang diciptakan yang menyalahi al-Sunnah yang diperoleh dari Nabi. Dari sinilah timbul sebab munculnya kalam dan penganutnya. Sekelompok dari mereka telah bangkit dengan bantuan Allah S.w.t., sehingga mereka melakukan secara baik pembelaan terhadap al-Sunnah dan perjuangan membela akidah yang diperoleh dengan penerimaan dari Nabi dan mengubah bid’ah yang diciptakan itu secara baik. Secara lebih rinci dapat dikatakan bahwa tujuan utama ilmu Kalam adalah : (1) Memahami, merumuskan dan menjelaskan ajaran akidah Islam dalam al-Qur’an dan al-Sunnah secara ilmiah-filosofis, dalam arti sistematik, rasional-kritis, konsisten, radikal, holistik, komprehensif dan obyektif dalam arti faktual, terbuka dan komunikabel (intersubyektif), dengan perabot akal dan logika yang sehat. (2) Memelihara kemurnian ajaran akidah Islam dalam al-Qur’an dan al-Sunnah dari campuran bid’ah, takhayyul, khurafat dan ajaran-ajaran lain yang meyimpang. (3) Membela dan mempertahankan ajaran akidah Islam dalam al-Qur’an dan al-Sunnah dengan cara menunjukkan dan membuktikan kebenarannya serta menunjukkan dan membuktikan kesalahan ajaran lain yang menyalahi secara ilmiah-filosofis, agar para mukallaf menjadi mukmin dan mukmin menjadi mujahid, yaitu beriman dengan keyakinan yang pasti dan benar dan berjihad menyatakan atau mengekspressikan keyakinannya dalam ucapan dan totalitas kehidupan sehari-hari. F. Fa’idah (Kegunaan) Ilmu Kalam Faidah dan manfaat ilmu Kalam cukup banyak. Tasy Kubra Zadah mengatakan secara umum : ومنفعة علم الكلام : الفوز بالسعادة الأبدية والسيادة السرمدية. Manfaat ilmu Kalam adalah kemenangan dengan mendapat kebahagiaan abadi dan kekuasaan abadi. Faidah yang dekat dapat disimpulkan dalam faidah ontologis, epistemologis dan aksiologis. Secara ontologis, ilmu Kalam dapat memelihara kemurnian ajaran akidah Islam dalam al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai ajaran wahyu yang rasional, dan bebas dari susupan unsur-unsur lain seperti khurafat dan takhayyul, baik terkategori kufur maupun bid’ah, sehingga dimungkinkan semua manusia mukallaf mau masuk Islam secara ilmiah dan atas kesadarannya sendiri, seperti terlihat dari pengalaman Abu al-Hudzail. Diriwayatkan bahwa salah seorang tokoh Mu’tazilah, Abu al-Hudzail al-‘Allaf (135-235 H) berhasil mengislamkan lebih dari 3.000 kafir zindiq dengan argumen-argumen kalam yang dikemukakannya. Faidah ini terlihat lebih jelas dari fakta bahwa agama bangsa Yunani kuno dari kalangan musyrikin ditolak oleh kaum filosofnya seperti Socrates, Plato dan Aristoteles karena irrasionalitasnya. Begitu pula agama Kristen dari kalngan ahli kitab ditolak oleh kaum filosof dan saintis Barat sejak zaman patristik, skolastik dan renessans hingga zaman aufklarung dan dewasa ini, sehingga muncul atheisme dan sekularisme, kecuali mereka yang rela menderita konflik psikologis untuk menerima dualisme kebenaran, yaitu kebenaran menurut faith (keimanan) dan kebenaran menurut akal, dan memisahkan secara tajam antara teologi, filsafat dan sains di mana teologi imun dan aman dari jamahan rasio/filsafat dan bukti empirik-sensual/sains, karena agama ini mengandung dogma-dogma irrasional. Secara epistemologis, ilmu Kalam menjadi induk dan landasan akademik bagi berdirinya seluruh ilmu-ilmu keislaman lain, seperti ‘ulum al-Qur’an, ‘ulum al-Hadits, ushul fiqh, fiqh, ilmu tashawuf dan sebagainya, bahkan ilmu bahasa Arab pun menjadi berkembang dan terpelihara. Ia juga dapat menjadikan mutakallim terlatih dan terbiasa berpikir secara ilmiah-filosofis dan rasional-kritis, yang hal ini sangat diperlukan dalam pembentukan sikap, prilaku dan masyarakat ilmiah, serta dalam memecahkan semua problem kehidupan individual dan sosial, dan membuatnya terbebas dari mental taqlid (menerima suatu pendapat tanpa argumen) kepada siapa pun, baik dalam masalah akidah maupun lainnya. Secara aksiologis, ilmu Kalam dapat membentuk karakter zuhud, jihad dan ijtihad pada ahlinya, meskipun dapat pula menimbulkan rigiditas dan kegersangan spiritual. Ini terlihat misalnya dari karakter umumnya kaum Mu’tazilah yang mutakallim rasionalis sekaligus zahid dan mujahid. ‘Amr ibn ‘Ubaid, tokoh pendiri kedua aliran kalam Mu’tazilah bersama Washil ibn ‘Atha’, misalnya, adalah seorang zahid dan mujtahid yang melakukan shalat shubuh dengan wudlu shalat ‘isya selama 40 tahun, dan melaksanakan ibadah haji dengan berjalan kaki selama 40 tahun. Ia adalah sahabat Abu Ja’far al-Manshur. Sesudah al-Manshur menjadi khalifah khilafat ‘Abbasiyah, ‘Amr ibn ‘Ubaid menolak hadiah uang 10.000 dirham dari khalifah dan melarang khalifah untuk menemuinya lagi seumur hidupnya. Ibn Abi Du’ad, Qadli al-Qudlat (Ketua Mahkamah Agung) sejak masa al-Makmun sampai dengan al-Watsiq yang mu’tazili, mendapat kesulitan untuk mengangkat hakim-hakim dari kalangan Mu’tazilah karena mereka enggan menjadi pejabat. Bahkan Ja’far ibn Basyar mengancam akan membunuh Ibn Abi Du’ad yang merayunya agar mau menjadi hakim dengan uang muka 10.000 dirham, jika Ibn Abi Du’ad terus mendesaknya agar ia sudi menerima tawarannya. Banyak contoh-contoh lain dari kaum Mu’tazilah yang menunjukkan efektivitas ilmu ushuluddin dalam pembentukan mental zuhud dan jihad-nya.. Ia juga dapat menjadi sarana ilmiah bagi muslim untuk mendakwahkan Islam kepada kafir dan bagi kafir untuk masuk Islam, sehingga muslim bebas dari taklif untuk dakwah, dan kafir bebas dari taklif untuk masuk Islam. Jika iman merupakan landasan amal, baik dalam arti bahwa amal terbit dari keyakinan, maupun d…

1 komentar: