Al-Ghifary
▼
Rabu, 06 Februari 2013
Ilmu Ma'ani
ILMU MA'ANI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada awalnya struktur ilmu balaghah belumlah lengkap seperti yang kita kenal sekarang ini. Setelah mengalami berbagai fase perkembangan dan penyempurnaan akhirnya disepakati bahwa ilmu ini membahas tiga kajian utama, yaitu ilmu bayân, ilmu ma’ani dan ilmu badi’. Dalam hal ini pennulis lebih menjelaskan ilmu ma’ani karena ilmu tersebutlah yang menjadi fokus kami di perkuliahan semester sekarang ini. Secara umum, sebenarnya tujuan ketiga cabang dai Ilmu Balaghah ini sama, yaitu bagamana cara mengungkapkan sesuatu yang indah sendan cara yang indah pula. Untuk itu, perlu pemahaman lebih lanjut mengenai keilmuan ini (ilmu ma’ani). Adapun fokos kajian ilmu ma’ani adalah membahas bagaimana kita mengungkapkan sesuatu ide fikiran atau perasaan ke dalam bahasa yang sesuai dengan konteksnya. Ilmu ini disusun untuk menjelaskan keistimewaan dan keindahan susunan bahasa Alquran dan segi kemukjizatannya dan juga disusun setelah muncul dan berkembangnya ilmu nahwu dan sharaf. Seiring berjalannya waktu, banyak perkembangan yang pesat terhadap keilmuan ini dan itulah yang akan kamu bahas dalam makalah ini selain pengertian dan tokoh-tokohnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis mengambil rumusan masalahnya sebagai berikut:
1. Apa pengertian Ilmu Ma’ani?
2. Bagaimana perkembangan Ilmu Ma’ani?
3. Sebutkan tokoh-tokoh Ilmu Balaghah juga Ilmu Ma’ani?
C. Tujuan
1. Sebagai tugas kelompok
2. Menjelaskan secara umum tentang Ilmu Ma’ani dari sumber yang ada (penyempurnaan informasi)
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
( معانى ) merupakan bentuk jamak dari ( معنى ). Secara leksikal kata tersebut berarti maksud, arti atau makna. Para ahli ilmu Bayan mendefinisikannya sebagai pengungkapan melalui ucapan tentang sesuatu yang ada dalam pikiran atau disebut juga sebagai gambaran dari pikiran.
Sedangkan menurut istilah Ilmu Ma’ani adalah sebagai berikut.
علم يعرف به أحوال اللفظ العربي التى بها يطابق مقتضى الحال
"Ilmu untuk mengetahui hal-ihwal lafazh bahasa Arab yang sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi."[1]
Adapun yang dimaksud dengan hal ihwal lafazh bahasa Arab adalah model-model susunan kalimat dalam bahasa Arab, seperti penggunaan taqdîm atau ta’khîr, penggunaan ma’rifat atau nakirah, disebut (dzikr) atau dibuang (hadzf), dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan situasi dan kondisi adalah situasi dan kondisi mukhathab, seperti keadaan kosong dari informasi itu, atau ragu-ragu, atau malah mengingkari informasi tersebut. Ilmu Ma’ani pertama kali dikembangkan oleh Abd al-Qahir al-Jurzani.
Objek kajian ilmu bayan adalah kalimat-kalimat berbahasa Arab. Ditemukannya ilmu ini bertujuan untuk mengungkap kemukjizatan Alquran, hadits dan rahasia-rahasia kefasihan kalimat-kalimat bahasa Arab, baik puisi maupun prosa. Dengan melalui ilmu ini kita bisa membedakan kalimat-kalimat yang sesuai dengan situasi dan kondisinya, mengetahui kalimat-kalimat yang tersusun rapi, dan dapat membedakan antara kalimat yang baik dan jelek.
B. OBJEK KAJIAN ILMU MA’ANI
Sebagaimana didefinisikan oleh para ulama balaghah bahwa ilmu ma’ani bertujuan membantu agar seseorang dapat berbicara sesuai dengan muqtadhal hal. Agar seseorang dapat berbicara sesuai dengan muqtadhahl hal maka ia harus mengetahui bentuk-bentuk kalimat dalam bahasa Arab. Kapan seseorang harus mengungkapkan dalam bentuk taqdîm, ta’khîr, washl, fashl, dzikr, hadzf, dan bentuk-bentuk lainnya.
Objek kajian ilmu ma’ani hampir sama dengan ilmu nahwu. Kaidah-kaidah yang berlaku dan digunakan dalam ilmu nahwu berlaku dan digunakan pula dalam ilmu ma’ani. Dalam ilmu nahwu dibahas masalah taqdîm dan ta’khîr, hadzf, dan dzikr. Hal-hal tersebut juga merupakan objek kajian dari ilmu ma’ani. Perbedaan antara keduanya terletak pada wilayahnya. Ilmu nahwu lebihbersifat mufrad (berdiri sendiri), tanpa terpengaruh oleh faktor lain seperti keadaan kalimat-kalimat di sekitarnya. Sedangkan ilmu ma’ani lebih bersifat tarkîbi (tergantung kepada factor lain). Hasan Tamam menjelaskan bahwa tugas ahli nahwu hanya sebatas mengotak-ngatik kalimat dalam suatu jumlah, tidak sampai melangkah kepada jumlah yang lain.
Kajian dalam ilmu ma’ani adalah keadaan kalimat dan bagian-bagiannya. Kajian yang membahas bagian-bagian berupa msunad-musnad ilaih dan fi’il muta’allaq. Sedangkan objek kajian dalam bentuk jumlah meliputi fashl, washl, îjaz, ithnab, dan musawat.
Secara keseluruhan ilmu ma’ani mencakup ada delapan macam, yaitu:
1. أحوال الإسناد الخبري
2. أحوال المسند إليه
3. أحوال المسند
4. أحوال متعلقات الفعل
5. القصر
6. الإنشاء
7. الفصل والوصل
8. الإيجاز والإطناب والمساواة
C. MANFAAT ILMU MA’ANI
Ilmu ma’ani mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan kalimat (jumlah) bahasa Arab dan kaitannya dengan konteks. Dengan mengetahui hal-hal tersebut kita bisa menyampaikan suatu gagasan atau ide kepada mukhathab sesuai dengan situasi dan kondisinya. Dengan melihat objeknya mempelajari ilmu ini dapat memberi manfaat sbb:
a. Mengetahui kemukjizatan Alquran berupa segi kebagusan penyampaian, keindahan deskripsinya, pemilihan diksi, dan penyatuan antara sentuhan akan dan qalbu.
b. Menguasai rahasia-rahasia ketinggian dan kefasîhan bahasa Arab baik pada syi’ir maupun prosanya. Dengan mempelajari ilmu ma’ani kita bias membedakan mana ungkapan yang benar dan yang tidak, yang indah dan yang rendah, dan yang teratur dan yang tidak.
D. PERKEMBANGAN
1. Pra Turunnya Al-Qur’an
Kelahiran dan pertumbuhan Balaghah (termasuk Ilmu Ma’ani) dikalangan masyarakat penggunanya bersifat arbitrer. Orang-orang Arab Jahiliyah pra turunnya Al-Qur’an telah dikenal sebagai ahli sastra yang kompeten. Mereka mampu menggubah lirik-lirik sya’ir atau bait-bait puisi yang mempesona yang menunjukkan kesadaran dan keahlian mereka dalam bidang sastra yang bernilai tinggi. Perhatikanlah misalnya apa yang diungkapkan oleh Umru al-Qais, salah seorang pujangga Arab Jahiliyah pada saat malam gelap gulita dimana kedua bola matanya sulit terpejam karena mendengar informasi tentang kematian sang ayah yang sangat dicintainya :
فقلت له لما تمطى بصلبه # وأردف أعجازا وناء بكلكل
“Maka kukatakan kepadanya (malam) ketika ia menghimpitku dengan segenap tubuhnya dan menyesakkan dadaku dengan perasaan sedih dan duka cita yang tak terucapkan”.
Duka nestapa dan kesedihan yang begitu abstrak diekspresikan dalam bentuk gaya bahasa yang figuratif dan indah sekali. Keindahan bahasa puisi tersebut jelas dan terasa sekali pada kemampuan si penggubahnya dalam menggambarkan hal-hal yang bersifat abstrak menjadi kongkrit, hingga seakan-akan dapat diraba keberadaannya.
Dan resapi serta renungkanlah betapa indahnya gubahan beberapa lirik syai’r yang begitu puitis dalam menggambarkan keadaan yang dialami oleh penyair tatkala ia merasa begitu tersiksa secara psikis dan mental akibat rindu yang begitu mendalam terhadap sang kekasih yang sangat dicintainya. Namun karena adanya jarak yang menghalangi, maka mereka tidak pernah bisa bersua untuk mengobati kerinduannya. Akhirnya keluarlah dari mulut salah seorang diantara mereka lirik-lirik bait syair yang begitu indah untuk menggambarkan keadaan tersebut.
بكيت على سرب القطا إذ مررن بـي # فقلت ومـثـلي بالبكاء جـديـر
أ سرب القطا هل من يـعـير جناحه # لـعلي إلـى من قد هـويت أطـير
فـجاوبـنـي من فوق غصن أراكة # ألا كلـنـا يا مستـعـير نـعـير
فأي قـطاة لم تـعـرك جـنـاحـه # تـعـيـش بذل والجـنـاح كسـير
“Aku menangisi sekawanan burung merpati tatkala mereka melintas dihadapanku, dan akupun bergumam: orang seperti diriku memang layak untuk menangis. Wahai kawanan burung merpati, Adakah diantara kalian yang sudi untuk meminjamkan sayapnya kepadaku, agar aku dapat terbang tuk menemui kekasih yang kucintai. Merekapun nyeletuk menjawab permintaanku dari atas ranting pohon arak, Hai orang yang bermaksud meminjam sayap kami, ketahuilah bahwa kami juga sebenarnya sekedar dikasih pinjam. Maka tidak ada seekor burung merpatipun yang rela tuk meminjamkan sayapnya, karena( jika itu terjadi) pasti ia akan hidup dalam keadaan hina dan sayapnya akan patah”.
Perasaan rindu yang terpendam dan berkecamuk serta perasaan asmara yang bergejolak melahirkan perasaan sedih yang mendalam yang diekspresikan dengan cucuran airmata tertuang dalam gubahan syair tersebut dengan indah sekali. Keadaan tersebut diadukan kepada kawanan burung-dalam bentuk dialog personifikatif-yang dilihat oleh penyair sebagai kelompok makhluk yang beruntung karena dilengkapi dengan sayap yang membuat mereka dapat terbang kemanapun mereka suka. Tidak seperti diri penyair yang terisolir dan nasibnya yang terpasung tidak dapat pergi menemui sang kekasih yang sudah lama didambakannya.
Perkembangan kesusastraan Arab pada era jahiliyah diwarnai oleh adanya perkembangan berbagai bentuk sastra, baik prosa maupun puisi yang dikembangkan oleh orang-orang Arab pada masa itu. Perkembangan tersebut didukung juga oleh adanya berbagai kegiatan yang berlangsung pada musim haji setiap tahunnya, dengan diadakannya berbagai perlombaan pidato dan perlombaan membaca sya’ir, yang diadakan di berbagai pusat kegiatan pada waktu itu, seperti di Suq ‘Ukkazh. Kegiatan-kegiatan seperti itu memberi peluang yang besar bagi para ahli sya’ir untuk mengembangkan bahasa dan gaya bahasa mereka dengan ungkapan-ungkapan yang menarik, baik dari segi zahir lafal, keindahan kata yang digunakan, maupun kandungan maknanya.
Selanjutnya Ahmad Thib Raya mengutip pernyataan Syauqi Dheif menyatakan bahwa bangsa Arab pada masa jahiliyah tersebut telah mencapai tingkat tinggi dalam menggunakan balaghah dan bayan. Orang yang melakukan kajian yang serius dan mendalam terhadap sastra Arab jahiliyah, baik prosa maupun puisinya akan berdecak kagum terhadap produk-produk kesusastraan yang mereka miliki. Hal tersebut tampak jelas dari kemampuan mereka untuk mengekspresikan pikiran-pikiran mereka sampai ke tingkat yang lebih tinggi dalam dunia ke-fasih-an dan ke-balaghah-an.
Prof. Dr. Abdul Fattah Lasyin menyatakan bahwa sastra Arab klasik pra turunnya al-Qur’an ini lebih banyak mengekspresikan sesuatu dalam bentuk tasybih, dan majaz saja, terutama isti’arah.
2. Pasca Turunnya Al-Qur’an
Sebagaimana dilihat sebelumnya bahwa keberadaan Balaghah pra turunnya al-Qur’an sudah demikian berkembang, lebih-lebih setelah turunnya al-Qur’an. Keindahan dan kelembutan berbahasa merupakan pokok kajian yang tak habis-habisnya, yang telah melahirkan banyak ungkapan-ungkapan yang indah dan bermakna dalam kepustakaan sastra, terutama setelah turunnya al-Qur’an yang merupakan salah satu inspirator dalam melahirkan keindahan dan kelembutan berbahasa tersebut.
Dalam tradisi Islam, al-Qur’an dipandang sebagai salah satu sumber keindahan atau ke-balaghah-an bagi para penyair dan penulis prosa. Al-Qur’an, diakui oleh mereka sebagai puncak balaghag (nahj al-balaghah) dan merupakan model utama (al-namuzaj al-mitsli) dalam rujukan penggubahan syai’r.
Kedudukan al-Qur’an begitu penting dan berpengaruh besar terhadap pola hidup, pola pikir, dan pola tutur umat Islam. Seluruh umat sepakat bahwa salah satu bentuk kemukjizatan al-Qur’an adalah keindahan bahasanya yang tak tertandingi oleh ungkapan manapun. Gagasan tentang nilai keindahan dan keluhuran tradisi sastra al-Qur’an tidak hanya diakui dalam diskursus kesusastraan dan kebahasaan, namun hal tersebut telah menjadi doktrin agama yang mendasar. Otentisitas al-Qur’an didasarkan atas ajaran ketidakmungkinan al-Qur’an untuk dapat ditiru oleh siapapun, baik dari sisi kandungannya, maupun sisi keindahannya. Itulah konsep I’jaz al-Qur’an, kemukjizatan al-Qur’an yang tak tertandingi. Tidak seorangpun manusia yang bisa membuat ungkapan-ungkapan yang serupa dengan al-Qur’an. Bahkan al-Qur’an sendiri selalu mengemukakan tantangan (al-tahaddi) kepada siapa saja yang meragukan otentisitasnya untuk mendatangkan ungkapan yang serupa dengannya walau hanya satu surat saja sebagaimana pernyataan Allah dalam ayat 23 surat al-Baqarah:
bÎ)ur öNçFZà2 ’Îû 5=÷ƒu‘ $£JÏiB $uZø9¨“tR 4’n?tã $tRωö7tã (#qè?ù'sù ;ou‘qÝ¡Î/ `ÏiB ¾Ï&Î#÷VÏiB (#qãã÷Š$#ur Nä.uä!#y‰ygä© `ÏiB Èbrߊ «!$# cÎ) öNçFZä. tûüÏ%ω»|¹ ÇËÌÈ
Artinya: “Dan jika kalian masih diselimuti keraguan tentang kebenaran apa (kitab) yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka (coba) datangkanlah sekedar satu surat yang mirip dengannya dan ajaklah para pembantu kalian selain Allah (yang kalian anggap mampu) jika kalian benar-benar jujur”. (Q.S. Al-Bawarah: 23)
Dan sesungguhnya mereka telah mengakui dan merasakan ketinggian dan keindahan bahasa al-Qur’an, sehingga diantara mereka ada yang meninggalkan syai’r karena lebih tertarik dengan keindahan bahasa al-Qur’an tersebut sebagaimana keterangan yang diperoleh dari Lubaid dan al-Khansa’ dua orang sastrawan dan pujangga besar masa tersebut.[14] Mereka juga berusaha keras untuk mencontoh bahasa Al-Qur’an dan mengembangkan nilai-nilai keindahannya dalam pembicaraan dan penulisan. Bahkan sebagian pakar sastra mencoba dengan sadar dan sekasama untuk menyamai bahkan melampaui keindahan al-Qur’an. Uapaya-upaya tersebut mereka lakukan untuk meladeni tantangan al-Qur’an yang begitu menggugah orang-orang yang memiliki keahlian dan keberanian di antara mereka, meski usaha tersebut tidak pernah berhasil. Tantangan al-Qur’an itu semakin menarik perhatian mereka disamping telah adanya rasa cinta terhadap keindahan dan ketinggian bahasa yang melekat kuat dalam jiwa mereka sejak masa pra turunnya al-Qur’an.
Pengaruh al-Qur’an terhadap Balaghah ‘Arabiyyah tersebut begitu nyata. Hal tersebut ditandai dengan dijadikannya al-Qur’an sebagai objek kajian dalam diskursus-diskursus kebalaghahan yang melahirkan karya-karya besar seperti Kitab Majaz Al-Qur’an karya Abu ‘Ubaidah (w. 207 H) yang ditulis karena adanya ketidakpahaman Ibrahim bin Isma’il terhadap penggunaan tasybih dalam penggambaran sifat syajarat al-Zaqqum (makanan penduduk neraka) dalam firman Allah ayat 65 surat al-Shaffat :
$ygãèù=sÛ ¼çm¯Rr(x. â¨râäâ‘ ÈûüÏÜ»u‹¤±9$# ÇÏÎÈ
Artinya: “Mayangnya seperti kepala syaitan-syaitan”
Sampai masa permulaan Islam ini keberadaan ilmu Balaghah sebagai suatu disiplin ilmu yang utuh seperti saat ini belum terkodifikasi, namun ia terus mengalami perkembangan sedikit demi sedikit. Diawali dengan kajian sastra terhadap beberapa sya’ir dan pidato-pidato orang Jahiliah, dilanjutkan dengan mengulas sya’ir dan sastra pada masa awal Islam, sampai kepada masa pemerintahan Daulah Umaiyah, ia terus mengalami perkembangan yang menggembirakan.
Perkembangan Balaghah yang semakin baik tersebut ditandai dengan munculnya para tokoh yang kompeten dan karya-karya besar mereka pada abad ke-III H, seperti Abu ‘Ubaidah (w. 211 H), Ibnu Qutaibah (w. 276 H), Ibnu Hasan al-Rumani (w. 284 H), al-Farra’ (w.207 H), dan Al-Jahizh (w. 255 H). Abu ‘Ubaidah menyusun sebuah kitab tentang Majaz al-Qur’an yang bernama Ilmu Majazil Qur’an. Ibnu Quthaibah menulis kitab Ta’wil Musykil al-Qur’an, dan Al-Farra’ menulis kitab Ma’anil Qur’an yang meski kebanyakan berisi kajian ilmu Nahwu, tapi juga menyinggung kajian ilmu Balaghah. Sedangkan al-Rumani menyusun kitab An-Naktu Fi I’jazil Qur’an.[18] Dan Al-Jahizh dipandang sebagai tokoh yang sangat berjasa dalam sejarah perkembangan ilmu Balaghah secara umum dan ilmu Bayan secara khusus, lewat karya tulisnya yang berjudul al-Bayan wa al-Tabyin.
Ilmu Balaghah terus mengalami perkembangan sehingga mencapai puncaknya pada abad ke-V H yang ditandai dengan semakin utuhnya kajian-kajian didalamnya yang tertuang dalam dua kitab yang disusun oleh Imam Abdul Qahir al-Jurjani (400-471 H). Kedua kitab tersebut adalah : Pertama, kitab Asrarul Balaghah yang berisi soal-soal majaz, isti’arah, tamtsil, tasybih dan lain-lain dari cabang Ilmu Ma’ani yang merupakan bagian dari Balaghah. Kedua, kitab Dala’ilul I’jaz, yang berisi tentang keindahan susunan kata dan konteksnya, dengan keindahan makna yang merupakan keistimewaan uslub Al-Qur’an yang menunjukkan kemukjizatannya.
Kemudian disusul dengan kemunculan Imam As-Sakaki pada abad ke-VII H yang semakin mematangkan keberadaan Ilmu Balaghah sebagai disiplin Ilmu dengan memetakannya menjadi tiga cabang ilmu sebagai komponennya, yaitu Ilmu Ma’ani, Ilmu Bayan, dan Ilmu Badi’. Namun antara ilmu Bayan dan Ilmu Badi’ masih beliau gabung dalam satu ilmu dengan istilah Ilmu al-Mahasin yang terbagi ke dalam dua bagian, yaitu Al-Mahasin al-Lafziyyah dan Ma’nawiyyah. Beliau menyusun sebuah karya besar yang menguraikan ilmu tersebut disamping ilmu-ilmu pengetahuan bahasa Arab lainnya. Kitab tersebut dikenal dengan nama Miftahul ‘Ulum.
Sedangkan pembagian ilmu Balaghah ke dalam tiga istilah (Ilmu Ma’ani, Bayan, dan Badi’) seperti yang dikenal sekarang dilakukan oleh Al-Khatib al-Qazwainy (w. 729 H) pada abad ke-VII H dalam karyanya yang bernama Talkhisul Miftah yang merupakan ringkasan dari kitab Miftahul ‘Ulum karya As-Sakaki.
E. TOKOH-TOKOH
Pada awalnya struktur ilmu balâghah belumlah lengkap seperti yang kita kenal sekarang ini. Setelah mengalami berbagai fase perkembangan dan penyempurnaan akhirnya disepakati bahwa ilmu ini membahas tiga kajian utama, yaitu ilmu bayân, ma’âni dan badî’. Ilmu bayân membahas prosedur pengungkapan suatu ide fikiran atau perasaan ke dalam ungkapan yang bervariasi. Ilmu ma’ani membahas bagaimana kita mengungkapkan sesuatu ide fikiran atau perasaan ke dalam bahasa yang sesuai dengan konteksnya. Tokoh pertama yang mengarang buku dalam bidang ilmu bayân adalah Abû Ubaidah dengan kitabnya Majâz Alquran. Beliau adalah murid al-Khalil. Dalam bidang ilmu ma’âni, kitab I’jâz Alquran yang dikarang oleh al-Jâhizh merupakan kitab pertama yang membahas masalah ini. Sedangkan kitab pertama dalam ilmu badî’ adalah karangan Ibn al-Mu’taz dan Qudâmah bin Ja’far. Pada fase berikutnya, munculah seorang ahli balâghah yang termashur,beliau adalah Abd al-Qâhir al-Jurzâni yang mengarang kitab Dalâil al-I‘jâz dalam ilmu ma’âni dan Asrâr al-Balâghah dalam ilmu bayân. Setelah itu muncullah Sakkâki yang mengarang kitab Miftah al-Ulûm yang mencakup segala masalah dalam ilmu balâghah. Selain tokoh-tokoh yang disebutkan di atas, masih banyak lagi tokoh yang mempunyai andil dalam pengembangan ilmu balâghah, yaitu:
1. Hasan bin Tsabit, beliau seorang penyair Rasullullah saw. Orang Arab sepakat bahwa ia adalah seorang tokoh penyair dari kampung. Suatu pendapat menyatakan bahwa ia hidup selama 120 tahun; 60 tahun dalam masa Jahiliyah dan 60 tahun dalam masa keislaman. Ia meninggal pada tahun 54 H.
2. Abu-Thayyib, beliau adalah Muhammad bin al-Husain seorang penyair kondang. Ia mendalami kata-kata bahasa Arab yang aneh. Syi’irnya sangat indah dan memiliki keistimewaan, bercorak filosofis, banyak kata-kata kiasannya dan beliau mampu menguraikan rahasia jiwa. Ia dilahirkan di Kufah, tepatnya di sebuah tempat bernama Kindah pada tahun 303 H, dan wafat tahun 354 H.
3. Umru’ al-Qais, ia tokoh penyair Jahiliyah yang merintis pembagian bab-bab dan macam-macam syi’ir. Ia dilahirkan pada tahun 130 sebelum Hijriyah. Nenek moyangnya adalah para raja dan bangsawan Kindah. Ia wafat pada tahun 80 sebelum Hijriyah. Syi’ir-syi’irnya yang pernah tergantung di Ka’bah sangat masyhur.
4. Abu Tammam (Habib bin Aus Ath-Tha’i), ia seorang penyair yang masyhur, satu-satunya orang yang mendalam pengetahuannya tentang maâni, fashahah al-syâir, dan banyak hafalannya. Ia wafat di Mosul pada tahun 231 Hijriyah.
5. Jarir bin Athiyah al-Tamimi, ia seorang di antara tiga penyair terkemuka pada masa pemerintahan Bani Umayah. Mereka adalah al-Akhthal, Jarir, dan al- Farazdaq. Dalam beberapa segi ia melebihi kedua rekannya. Dia wafat pada tahun 110 H.
6. Al-Buhturi, ia seorang penyair Bani Abasiyah yang profesional. Ketika Abu al- ‘A’la al-Ma’arri ditanya tentang al-Buhtury dia berkata, “Siapakah yang ahli syi’ir di antara tiga orang ini, Abu Tammam, al-Buhturi, ataukah al- Mutanabbi?” Ia menjawab, “Abu Tamam dan al-Mutanabbi keduanya adalah para pilosof; sedangkan yang penyair adalah al-Buhturi”. Dia lahir di Manbaj dan wafat di sana pada tahun 284 H.”
7. Saif al-Daulah, ia adalah Abu al-Hasan Ali bin Abdullah bin Hamdan, raja Halab yang sangat cinta syi’ir. Lahir tahun 303, wafat tahun 356.
8. Ibnu Waki’, ia seorang penyair ulung dari Baghdad. Lahir di Mesir dan wafat di sana pada tahun 393 H.
9. Ibn Khayyath, ia seorang penyair dari Damaskus. Ia telah menjelajahi beberapa negara dan banyak mendapatkan pujian dari masyarakat yang mengenalnya. Ia sangat masyhur, karena karya-karyanya khususnya pada buku-buku syi’ir yang sangat populer. Ia wafat pada tahun 517 H.
10. Al-Ma’arri, ia adalah Abu al-‘Ala’ al-Ma’arri. Dia seorang sastrawan, pilosof dan penyair masyhur, lahir di Ma’arrah (kota kecil di Syam). Matanya buta karena sakit cacar ketika berusia empat tahun. Dia meninggal di Ma’arrah pada tahun 449 H.
11. Ibn Ta’awidzi, ia adalah penyair dan sastrawan Sibth bin at-Ta’awidzi. Wafat di Baghdad pada tahun 584 H, dan sebelumnya buta selama lima tahun.
12. Abu Fath Kusyajin, ia seorang penyair profesional dan terbilang sebagai pakar sastra. Ia cukup lama menetap di Mesir dan berhasil mengharumkan negeri itu. Dia wafat pada tahun 330 H.
13. Ibn Khafajah, ia seorang penyair dari Andalus. Ia tidak mengharapkan kemurahan para raja sekalipun mereka menyukai sastra dan para sastrawan. Ia wafat pada tahun 533 H.
14. Muslim bin al-Walid, ia dijuluki dengan Shari’ al-Ghawani. Ia seorang penyair profesional dari dinasti Abbasiyah. Ia adalah orang yang pertama kali menggantungkan syi’irnya kepada Badî’. Dia wafat pada tahun 208 H.
15. Abu al-‘Atahiyah, ia adalah Ishaq bin Ismail bin al-Qasim, lahir di Kufah pada tahun 130 H. Syi’irnya mudah di pahami, padat dan tidak banyak mengada-ada. Kebanyakan syi’irnya tentang zuhud dan peribahasa. Dia wafat pada tahun 211 H.
16. Ibn Nabih, ia seorang penyair dan penulis dari Mesir. Ia memuji Ayyubiyyin dan menangani sebuah karya sastra berbentuk prosa buat Raja al-Asyraf Musa. Ia pindah ke Mishshibin dan wafat di sana pada tahun 619 H.
17. Basysyar bin Burd, ia seorang penyair masyhur. Para periwayat menilainya sebagai seorang penyair yang modern lagi indah. Ia penyair dua zaman, Bani Umayah dan Bani Abasiyah. Dia wafat pada tahun 167 H.
18. Al-Nabighah Al-Dzubyani, ia adalah seorang penyair Jahiliyah. Ia dinamai Nabighah karena kejeniusannya dalam bidang syi’ir. Ia dinilai oleh Abd al- Malik bin Marwan sebagai seorang Arab yang paling mahir bersyi’ir. Ia adalah penyair khusus Raja Nu’man Ibn al-Mundzir. Di zaman Jahiliyah, ia mempunyai kemah merah khusus untuknya di pasar tahunan Ukash. Para penyair lain berdatangan kepadanya, lalu mereka mendendangkan syi’irsyi’irnya untuk ia nilai. Ia wafat sebelum kerasulan Muhammad saw.
19. Abu al-Hasan al-Anbari, ia seorang penyair kondang yang hidup di Baghdad. Ia wafat pada tahun 328 H. Ia terkenal dengan ratapannya kepada Abu Thahirbin Baqiyah, patih ‘Izz al-Daulah, ketika ia dihukum mati dan tubuhnyadisalib. Maratsi-nya (ratapannya) itu merupakan maratsi yang paling jarangmengenai orang yang mati disalib. Karena ketinggiannya, Izzud Daulahsendiri memerintahkan agar dia disalib. Dan seandainya ia sendiri yangdisalib, lalu dibuatkan maratsi tersebut untuknya.
20. Syarif Ridha, ia adalah Abu al-Hasan Muhammad yang nasabnya sampaikepada Husain bin Ali as. Ia seorang yang berwibawa dan menjaga kesuciandirinya. Ia disebut sebagai tokoh syi’ir Quraisy karena orang yang pintar di antara mereka tidak banyak karyanya, dan orang yang banyak karyanya tidak pintar, sedangkan ia menguasai keduanya. Ia lahir di Baghdad dan wafat di sana pada tahun 406 H.
21. Said bin Hasyim al-Khalidi, ia seorang penyair keturunan Abdul Qais. Kekuatan hafalannya sangat mengagumkan. Ia banyak menulis buku-buku sastra dan syi’ir. Ia wafat pada tahun 400 H.
22. Antarah, ia adalah seorang penyair periode pertama. Ibunya berkebangsaan Ethiopia. Ia terkenal berani dan menonjol. Ia wafat tujuh tahun sebelum kerasulan Muhammad. Ibnu Syuhaid al-Andalusi, ia dari keturunan Syahid al-Asyja’i. Ia seorang pemuka Andalus dalam ilmu sastra. Ia dapat bersyi’ir dengan indah dan karya tulisnya bagus. Ia wafat di Kordova, tempat kelahirannya pada tahun 426 H. Al-Abyuwardi, ia adalah seorang penyair yang fasîh, ahli riwayat, dan ahli nasab. Karya-karyanya dalam bidang bahasa tiada duanya. Ia wafat di Ishbahan pada tahun 558 H. Abiyuwardi adalah nama kota kecil di Khurasan.
23. Ibnu Sinan al-Kahfaji, ia adalah seorang penyair dan sastrawan yang berpendirian syi’ah. Ia diangkat menjadi wali pada salah satu benteng di Halab oleh Raja Mahmud bin Saleh, tetapi ia memberontak terhadap raja. Akhirnya ia mati diracun pada tahun 466 H.
24. Ibnu Nubatah Al-Sa’di, ia adalah Abu Nashr Abd al-Aziz, seorang penyair ulung yang sangat lihai dalam merangkai dan memilih kata. Ia wafat pada tahun 405 H.
BAB III
PENUTUP
Segala puji bagi Allah. Akhirnya makalah yang sederhana ini bisa terselesaikan. Meski begitu, masih banyak kesalahan, baik dalam tulisan ataupun lainnya yang berkaitan dengan maalah ini. Untuk itu, kami berharap kritik dan saran dari dari dosen maupun teman-teman yang membaca makalah ini.
Adapun kesimpulan tentang pembahasan Ilmu Ma’ani ini yaitu:
( معانى ) merupakan bentuk jamak dari ( معنى ). Secara leksikal kata tersebut berarti maksud, arti atau makna. Para ahli ilmu Bayan mendefinisikannya sebagai pengungkapan melalui ucapan tentang sesuatu yang ada dalam pikiran atau disebut juga sebagai gambaran dari pikiran.
Sedangkan menurut istilah Ilmu Ma’ani adalah sebagai berikut.
علم يعرف به أحوال اللفظ العربي التى بها يطابق مقتضى الحال
"Ilmu untuk mengetahui hal-ihwal lafazh bahasa Arab yang sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi."
Secara umum seperti itulah Ilmu Ma’ani. Masih banyak pembahasn tentang ilmu ini baik dari segi objek kajiannya dan sebagainya. Untuk itu, kami hanya menjelasakan secara umum saja mengenai Ilmu Ma’ani ini, dari segi pengertian sampai tokoh-tokohnya yang itu pun tidak jauh berbeda dengan Ilmu Balaghah dan cabang ilmu lainnya (Ilmu Bayan dan Ilmu Badi’).
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
B.A., Irbabullubab dan Dja’far Amir. Al-Balaghah 1, Surakarta: Toha Putra, 1969
Ilmu Balaghah, pdf
[1] Irbabullubab B.A dan Ustadz Dja’far Amir, Al-Balaghah 2, Surakarta: Toha Putra, 1969, hal. 6
Aly Al-Ghifary di Rabu, Februari 06, 2013
Berbagi
Tidak ada komentar:
Poskan Komentar
‹
›
Beranda
Lihat versi web
Mengenai Saya
Foto Saya
Aly Al-Ghifary
Lihat profil lengkapku
Diberdayakan oleh Blogger.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar