Jumat, 30 September 2016

Pagi mukmin sore kafir


بَادِرُوا فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ

يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا وَيُمْسِي مُؤْمِنًا

وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنْ الدُّنْيَا

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bersegeralah beramal sebelum datangnya rangkaian fitnah seperti sepenggalan malam yang gelap gulita, seorang laki-laki di waktu pagi mukmin dan di waktu sore telah kafir, dan di waktu sore beriman dan pagi menjadi kafir, ia menjual agamanya dengan kesenangan dunia.” (H

Kamis, 29 September 2016

Teks marhaba


س : مَرْحَبًا يَا نُوْرُ الْعَيْنِ مَرْحَبًا مَرْحَبًا يَامَرْحَبًا

مَرْحَبًا جَدَّ الْحُسَيْنِ مَرْحَبًا مَرْحَبًا يَامَرْحَبًا

ج : مَرْحَبًا يَا نُوْرُ الْعَيْنِ مَرْحَبًا مَرْحَبًا يَامَرْحَبًا

مَرْحَبًا جَدَّ الْحُسَيْنِ مَرْحَبًا مَرْحَبًا يَامَرْحَبًا

س : طَلَعَ الْبَدْرُ عَلَيْناَ مَرْحَبًا مَرْحَبًا يَامَرْحَبًا

مِنْ ثَنِيَّاتِ الْوَدَاعِ مَرْحَبًا مَرْحَبًا يَامَرْحَبًا

ج : مَرْحَبًا يَا نُوْرُ الْعَيْنِ مَرْحَبًا مَرْحَبًا يَامَرْحَبًا

مَرْحَبًا جَدَّ الْحُسَيْنِ مَرْحَبًا مَرْحَبًا يَامَرْحَبًا

س : وَجَبَ الشُّكْرُعَلَيْناَ مَرْحَبًا يَا يَاهُ مَرْحَبًا – يَا يَاهُ مَرْحَبًا – يَا يَاهُ مَرْحَبًا

يَاهُ ماَ دَعاَ للهِ دَاعِ مَرْحَبًا يَا يَاهُ مَرْحَبًا – يَا يَاهُ مَرْحَبًا – يَا يَاهُ مَرْحَبًا

ج : يَاهُ مَرْحَبًا يَا نُوْرُ الْعَيْنِ مَرْحَبًا يَا يَاهُ مَرْحَبًا – يَا يَاهُ مَرْحَبًا – يَا يَاهُ مَرْحَبًا

يَاهُ مَرْحَبًا جَدَّ الْحُسَيْنِ مَرْحَبًا يَا يَاهُ مَرْحَبًا – يَا يَاهُ مَرْحَبًا – يَا يَاهُ مَرْحَبًا

س : اَيُّهَا الْمَبْعُوْثُ فِيْناَ … مَرْحَبًا اَيْ جِئْتَ بِااْلاَمْرِ الْمُطاَعِ مَرْحَبًا

ج : مَرْحَبًا يَا نُوْرُ الْعَيْنِ … مَرْحَبًا اَيْ مَرْحَبًا جَدَّ الْحُسَيْنِ مَرْحَبًا

س : كُنْ … كُنْ شَفِيْعًا … ياَحَبِيْبي مَرْ … مَرْحَبًا يَاهُ – مَرْ مَرْحَبًا يَاهُ

يَوْمَ حَشْرٍ – يَوْمَ حَشْرٍ وَاجْتِماَعِ يَاهُ يَوْمَ حَشْرٍ – يَوْمَ حَشْرٍ وَاجْتِماَعِ

ج : مَرْ … مَرْحَبًا يَا … نُوْرُ الْعَيْنِ مَرْ … مَرْحَبًا يَاهُ – مَرْ مَرْحَبًا يَاهُ

مَرْحَبًا يَا مَرْحَبًا جَدَّ الْحُسَيْنِ يَاهُ مَرْحَبًا يَا مَرْحَبًا جَدَّ الْحُسَيْنِ

س : رَبَّناَ صَلِّ عَلىَ مَنْ مَرْحَا … بًا يَا مَرْحَا … بًا يَا … مَرْحَبًا يَاهُ

حَلَّ فِى خَيْرِ الْبِقاَعِ مَرْحَا … بًا يَا مَرْحَا … بًا يَا … مَرْحَبًا يَاهُ

ج : مَرْحَبًا يَا نُوْرُ الْعَيْنِ مَرْحَا … بًا يَا مَرْحَا … بًا يَا … مَرْحَبًا يَاهُ

مَرْحَبًا جَدَّ الْحُسَيْنِ مَرْحَا … بًا يَا مَرْحَا … بًا يَا … مَرْحَبًا يَاهُ

س : وَاسْبِلِ السِّى … وَاسْبِلِ السِّتْرُ عَلَيْناَ اَيْ مَرْحَبًا يَا نُوْر – يَا نُوْرُ الْعَيْنِ

الله يَاهُ … يَاهُ … يَا … مُجِيْباَ كُلَّ دَاعِ يَاهُ – يَا مُجِيْباَ – يَا مُجِيْباَ كُلَّ دَاعِ

ج : مَرْ…حَبًاياَمَرْحَبًا يَا نُوْر – يَا نُوْرُ الْعَيْنِ اَيْ مَرْحَبًا يَا نُوْر – يَا نُوْرُ الْعَيْنِ

الله يَاهُ … يَاهُ … مَرْحَابًا جَدَّ الْحُسَيْنِ يَاهُ … مَرْحَابًا ياَمَرْحَابًا جَدَّ الْحُسَيْنِ

س : اَنْتَ فِى كُلِّ جَمِيْلٌ وَجَمَالٌ ياَ مُطاَعِ

ج : مَرْحَبًاياَ نُوْر الْعَيْنِ مَرْحَابًا جَدَّ الْحُسَيْنِ

س : قَدْ تَجَلَّيْتَ لِقَلْبِى مُسْفِرًا دُوْنَ الْقَنَاعِ

ج : صل الله على محمّد صل الله عليه وسلّم

س : وَرَضَعْنَ ثَدْيَ وَصْلٍ قَبْلَ اَيّاَمِ الرِّضاَعِ

ج : صل الله على محمّد صل الله عليه وسلّم

س : وَعَلَى عِشْقِ الْجَمَالِ طَبَعَ الله ُالطِّباَعِ

. س : وَصَلاَةُ اللهِ عَلَى اَحْمَدُ ماَ سَعَى للهِ ساَعِ

ج : صل الله على محمّد صل الله على وسلّم

رَبَّناَ صَلِّ عَلىَ مَنْ حَلَّ فِى خَيْرِ الْبِقاَعِ

وَاسْبِلِ السِّتْرَ عَلَيْناَ يَا مُجِيْباً كُلَّ دَاعِ

اَنْتَ فِى كُلِّ جَمِيْلٌ وَجَمَالٌ ياَ مُطاَعِ

قَدْ تَجَلَّيْتَ لِقَلْبِى مُسْفِرًا دُوْنَ الْقَنَاعِ

وَرَضَعْنَ ثَدْيَ وَصْلٍ قَبْلَ اَيّاَمِ الرِّضاَعِ

وَلَبِسْناَ ثَوْبَ عِزٍّ بَعْدَ تَلْفِيْقِ الرِّقاَعِ

وَعَلَى عِشْقِ الْجَمَالِ طَبَعَ الله ُالطِّباَعِ

اَحْمَدُ الْهَادِى مُحَمَّدْ صَاحِبُ الْوَجْهِ الْمُنِيْرِ

وَصَلاَةُ اللهِ عَلَى اَحْمَدُ ماَ سَعَى للهِ ساَعِ

من عظم مولدى كنت شفيعاله يوم القيامة. ومن انفق درحمـا فى مولدى فكانما انفق جبلا من ذهب فى سبيل الله

“Barang siapa mengagungkan hari kelahiranku, niscaya aku akan memberi syafaat kepadanya kelak pada hari kiamat, dan barang siapa mendermakan satu dirham di dalam menghormati kelahiranku, maka seakan-akan dia telah mendermakan satu gunung emas di dalam perjuangan fi sabilillah”

Rabu, 28 September 2016

Makna bahagia dlm islam


Makna Kebahagiaan dalam Islam

Hidup bahagia adalah dambaan dari setiap orang. Bahagia merupakan suatu hal tiada taranya. Dikala kita bahagia segalanya akan terasa indah dan hati pun terasa tentram dan damai. Tiada kesusahan pun yang meliputi kita tatkala bahagia menghampiri kita. Bahagia itu indah dan menyenangkan. Tapi, apa sih sebenarnya Makna dari Bahagia atau kebahagiaan itu sendiri?? mari kita simak arti atau makna dari Kebahagiaan yang dikutip dari voa-islam.com berikut ini.

Kebahagiaan, bukan terletak dalam penuhnya gudang uang yang tersimpan rapi dalam rumah, namun lebih dari itu adalah gabungan dari besarnya penghambaan diri kepada Allah, ketiadaan meminta pada manusia karena tercukupi, dan penguasaan hati serta nafsu, yang tersimpan rapi dalam sebuah kalbu manusia yang berhati suci.

Kebahagiaan adalah ketika ketika kita dapat melakukan lebih banyak hal untuk lebih banyak kebahagiaan orang lain, bahkan saat diri mereka tidak lagi dapat membahagiakan dirinya sendiri. Subhanallah, lihatlah jiwa- jiwa yang ikhlas itu, yang diciptakan allah di dunia seperti pabrik kebahagiaan yang siap disebar luaskan untuk mendamaikan hati, dan meluaskan dada sesamanya yang terasa sempit karena cobaan hidup. Dan dalam hati mereka pun berbisik, tak apa jika mereka menghabiskan banyak waktu mengurus kepentingan demi kebahagiaan orang lain, dan Insyaallah sebagai balasannya, Allah yang akan mengurus kepentingan dan membahagiakan mereka.

Kebahagiaan adalah kepuasan batin atas tercukupinya kedamaian bagi orang lain. Dan lihatlah para manusia ajaib yang begitu tenang itu. Mereka mencoba mendamaikan orang lain, dengan terlebih dahulu mengkondisikan hati dan pikirannya agar terlebih dahulu terkondisikan. Dan setelah itu, bukankah juga kedamaian akan menjadi hak mereka?

Kebahagiaan sejati adalah ketika Ridho Allah terengkuh oleh kita atas setiap nafas, jejak kaki, kata hati dan  perilaku kita. Tanyakan kepada para mereka yang kaya, apakah masih akan ada sebuah lubang kesedihan dari diri mereka. Pastilah jawabannya iya, karena dunia ini memang tidak sempurna, dan kebutuhan akan dekatnya Allah atas batin dan jiwa yang lapar akan kasih sayangNya, itulah yang dapat menyempurnakan kebahagiaan batin mereka. Meskipun manusia dalam gelimang harta, namun jika hal itu tidak mereka punyai, maka mereka tak lebih dari seorang yang tidak berpunya.

Dengan definisi apapun, ternyata kebahagiaan hanya berarti satu. Kebahagiaan adalah karena Allah, bersama Allah, dekat dengan Allah, mengenalNya dan merasa memilikiNya dalam jiwa dan keseharian kita.

Maka berbahagialah, wahai manusia yang senantiasa melekatkan hatinya, mensandarkan harapannnya hanya kepada Allah dan tidak mengkhianatinya walaupun dia tengah sendiri.

Berbahagialah wahai jiwa- jiwa yang damai yang tahu bagaimana cara mensyukuri sebuah kebahagiaan dan pandai berterimakasih selalu kepada sang pemberinya.

Definisi hadis qudsi

Definisi Hadits Qudsiy (Hadits Qudsi)

Hadits Qudsiy (Hadits Qudsi) salah satu jenis hadits dimana perkataan Nabi Muhammad disandarkan kepada Allah atau dengan kata lain Nabi Muhammad meriwayatkan perkataan Allah. Secara bahasa (Etimologis), kata القدسي dinisbahkan kepada kata القدس (suci). Artinya, hadits yang dinisbahkan kepada Dzat yang Maha suci, yaitu Allah swt. Dan secara istilah (terminologis) adalah sesuatu (hadits) yang dinukil kepada kita dari nabi Muhammad saw. yang disandarkan kepada Tuhannya.

Definisi Hadits Qudsiy

Secara bahasa (Etimologis), kata القدسي dinisbahkan kepada kata القدس (suci). Artinya, hadits yang dinisbahkan kepada Dzat yang Maha suci, yaitu Allah Ta'ala.
Dan secara istilah (terminologis) definisinya adalah

ما نقل إلينا عن النبي صلى الله عليه وسلم مع إسناده إياه إلى ربه عز وجل

Sesuatu (hadits) yang dinukil kepada kita dari Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam yang disandarkan beliau kepada Rabb-nya.

Perbedaan Antara Hadits Qudsiy Dan al-Qur'an

Terdapat perbedaan yang banyak sekali antara keduanya, diantaranya adalah:
Bahwa lafazh dan makna al-Qur`an berasal dari Allah Ta'ala sedangkan Hadîts Qudsiy tidak demikian, alias maknanya berasal dari Allah Ta'ala namun lafazhnya berasal dari Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam.
Bahwa membaca al-Qur`an merupakan ibadah sedangkan Hadîts Qudsiy tidak demikian.
Syarat validitas al-Qur'an adalah at-Tawâtur (bersifat mutawatir) sedangkan Hadîts Qudsiy tidak demikian.
Jumlah Hadits Qudsiy

Dibandingkan dengan jumlah hadits-hadits Nabi, maka Hadîts Qudsiy bisa dibilang tidak banyak. Jumlahnya lebih sedikit dari 200 hadits.

Contoh

Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim di dalam kitab Shahîh-nya dari Abu Dzarr radliyallâhu 'anhu dari Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam pada apa yang diriwayatkan beliau dari Allah Ta'ala bahwasanya Dia berfirman,

يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوْا

"Wahai para hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan perbuatan zhalim atas diri-Ku dan menjadikannya diantara kamu diharamkan, maka janganlah kamu saling menzhalimi (satu sama lain)." (HR.Muslim)

Lafazh-Lafazh Periwayatannya

Bagi orang yang meriwayatkan Hadîts Qudsiy, maka dia dapat menggunakan salah satu dari dua lafazh-lafazh periwayatannya:
1. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم فيما يرويه عن ربه عز وجل

Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam pada apa yang diriwayatkannya dari Rabb-nya 'Azza Wa Jalla
2. قال الله تعالى، فيما رواه عنه رسول الله صلى الله عليه وسلم

Allah Ta'ala berfirman, pada apa yang diriwayatkan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam dari-Nya

Buku Mengenai Hadits Qudsiy

Diantara buku yang paling masyhur mengenai Hadîts Qudsiy adalah kitab

الاتحافات السنية بالأحاديث القدسية (al-Ithâfât as-Saniyyah Bi al-Ahâdîts al-Qudsiyyah) karya 'Abdur Ra`uf al-Munawiy. Di dalam buku ini terkoleksi 272 buah hadits.

Bentuk dan macam hadits 2


Pengertian Hadits dan macam-macam Hadits

Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.

Ada banyak ulama periwayat hadits, namun yang sering dijadikan referensi hadits-haditsnya ada tujuh ulama, yakni Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Ahmad, Imam Nasa'i, dan Imam Ibnu Majah.

Ada bermacam-macam hadits, seperti yang diuraikan di bawah ini.
Hadits yang dilihat dari banyak sedikitnya perawi
Hadits Mutawatir
Hadits Ahad
Hadits Shahih
Hadits Hasan
Hadits Dha'if
Menurut Macam Periwayatannya
Hadits yang bersambung sanadnya (hadits Marfu' atau Maushul)
Hadits yang terputus sanadnya
Hadits Mu'allaq
Hadits Mursal
Hadits Mudallas
Hadits Munqathi
Hadits Mu'dhol
Hadits-hadits dha'if disebabkan oleh cacat perawi
Hadits Maudhu'
Hadits Matruk
Hadits Mungkar
Hadits Mu'allal
Hadits Mudhthorib
Hadits Maqlub
Hadits Munqalib
Hadits Mudraj
Hadits Syadz
Beberapa pengertian dalam ilmu hadits
Beberapa kitab hadits yang masyhur / populer

I. Hadits yang dilihat dari banyak sedikitnya Perawi

I.A. Hadits Mutawatir

Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad yang tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Berita itu mengenai hal-hal yang dapat dicapai oleh panca indera. Dan berita itu diterima dari sejumlah orang yang semacam itu juga. Berdasarkan itu, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu hadits bisa dikatakan sebagai hadits Mutawatir:
Isi hadits itu harus hal-hal yang dapat dicapai oleh panca indera.
Orang yang menceritakannya harus sejumlah orang yang menurut ada kebiasaan, tidak mungkin berdusta. Sifatnya Qath'iy.
Pemberita-pemberita itu terdapat pada semua generasi yang sama.   
I.B. Hadits Ahad
 
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak mencapai tingkat mutawatir. Sifatnya atau tingkatannya adalah "zhonniy". Sebelumnya para ulama membagi hadits Ahad menjadi dua macam, yakni hadits Shahih dan hadits Dha'if. Namun Imam At Turmudzy kemudian membagi hadits Ahad ini menjadi tiga macam, yaitu:

I.B.1. Hadits Shahih
Menurut Ibnu Sholah, hadits shahih ialah hadits yang bersambung sanadnya. Ia diriwayatkan oleh orang yang adil lagi dhobit (kuat ingatannya) hingga akhirnya tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih) dan tidak mu'allal (tidak cacat). Jadi hadits Shahih itu memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :
Kandungan isinya tidak bertentangan dengan Al-Qur'an.
Harus bersambung sanadnya
Diriwayatkan oleh orang / perawi yang adil.
Diriwayatkan oleh orang yang dhobit (kuat ingatannya)
Tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih)
Tidak cacat walaupun tersembunyi.
I.B.2. Hadits Hasan
Ialah hadits yang banyak sumbernya atau jalannya dan dikalangan perawinya tidak ada yang disangka dusta dan tidak syadz.

I.B.3. Hadits Dha'if
Ialah hadits yang tidak bersambung sanadnya dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil dan tidak dhobit, syadz dan cacat.

II. Menurut Macam Periwayatannya

II.A. Hadits yang bersambung sanadnya
Hadits ini adalah hadits yang bersambung sanadnya hingga Nabi Muhammad SAW. Hadits ini disebut hadits Marfu' atau Maushul.

II.B. Hadits yang terputus sanadnya

II.B.1. Hadits Mu'allaq
Hadits ini disebut juga hadits yang tergantung, yaitu hadits yang permulaan sanadnya dibuang oleh seorang atau lebih hingga akhir sanadnya, yang berarti termasuk hadits dha'if.

II.B.2. Hadits Mursal
Disebut juga hadits yang dikirim yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para tabi'in dari Nabi Muhammad SAW tanpa menyebutkan sahabat tempat menerima hadits itu.

II.B.3. Hadits Mudallas
Disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad ataupun pada gurunya. Jadi hadits Mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya.

II.B.4. Hadits Munqathi
Disebut juga hadits yang terputus yaitu hadits yang gugur atau hilang seorang atau dua orang perawi selain sahabat dan tabi'in.

II.B.5. Hadits Mu'dhol
Disebut juga hadits yang terputus sanadnya yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para tabi'it dan tabi'in dari Nabi Muhammad SAW atau dari Sahabat tanpa menyebutkan tabi'in yang menjadi sanadnya. Kesemuanya itu dinilai dari ciri hadits Shahih tersebut di atas adalah termasuk hadits-hadits dha'if.

III. Hadits-hadits dha'if disebabkan oleh cacat perawi

III.A. Hadits Maudhu'
Yang berarti yang dilarang, yaitu hadits dalam sanadnya terdapat perawi yang berdusta atau dituduh dusta. Jadi hadits itu adalah hasil karangannya sendiri bahkan tidak pantas disebut hadits.

III.B. Hadits Matruk
Yang berarti hadits yang ditinggalkan, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi saja sedangkan perawi itu dituduh berdusta.

III.C. Hadits Mungkar
Yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya / jujur.

III.D. Hadits Mu'allal
Artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadis Mu'allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa disebut juga dengan hadits Ma'lul (yang dicacati) atau disebut juga hadits Mu'tal (hadits sakit atau cacat).

III.E. Hadits Mudhthorib
Artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidak sama dan kontradiksi dengan yang dikompromikan.

III.F. Hadits Maqlub
Artinya hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi).

III.G. Hadits Munqalib
Yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah.

III.H. Hadits Mudraj
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang didalamnya terdapat tambahan yang bukan hadits, baik keterangan tambahan dari perawi sendiri atau lainnya.

III.I. Hadits Syadz
Hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (terpercaya) yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi (periwayat / pembawa) yang terpercaya pula. Demikian menurut sebagian ulama Hijaz sehingga hadits syadz jarang dihapal ulama hadits. Sedang yang banyak dihapal ulama hadits disebut juga hadits Mahfudz.

IV. Beberapa pengertian (istilah) dalam ilmu hadits

IV.A. Muttafaq 'Alaih
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sumber sahabat yang sama, atau dikenal juga dengan Hadits Bukhari - Muslim.

IV.B. As Sab'ah
As Sab'ah berarti tujuh perawi, yaitu:
Imam Ahmad
Imam Bukhari
Imam Muslim
Imam Abu Daud
Imam Tirmidzi
Imam Nasa'i
Imam Ibnu Majah
IV.C. As Sittah
Yaitu enam perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad bin Hanbal.

IV.D. Al Khamsah
Yaitu lima perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Bukhari dan Imam Muslim.

IV.E. Al Arba'ah
Yaitu empat perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad, Imam Bukhari dan Imam Muslim.

IV.F. Ats tsalatsah
Yaitu tiga perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim dan Ibnu Majah.

IV.G. Perawi
Yaitu orang yang meriwayatkan hadits.

IV.H. Sanad
Sanad berarti sandaran yaitu jalan matan dari Nabi Muhammad SAW sampai kepada orang yang mengeluarkan (mukhrij) hadits itu atau mudawwin (orang yang menghimpun atau membukukan) hadits. Sanad biasa disebut juga dengan Isnad berarti penyandaran. Pada dasarnya orang atau ulama yang menjadi sanad hadits itu adalah perawi juga.

IV.I. Matan
Matan ialah isi hadits baik berupa sabda Nabi Muhammad SAW, maupun berupa perbuatan Nabi Muhammad SAW yang diceritakan oleh sahabat atau berupa taqrirnya.

V. Beberapa kitab hadits yang masyhur / populer
Shahih Bukhari
Shahih Muslim
Riyadhus Shalihin

Bentuk dan macam hadits

A. PENGERTIAN HADITS

Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur’an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.
Ada banyak ulama periwayat hadits, namun yang sering dijadikan referensi hadits-haditsnya ada tujuh ulama, yakni Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Ahmad, Imam Nasa’i, dan Imam Ibnu Majah.

B. MACAM-MACAM HADIST DAN PENJELASANNYA

a. Pembagian Hadits dilihat dari banyak sedikitnya Perawi

Hadits Mutawatir: Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad yang tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Berita itu mengenai hal-hal yang dapat dicapai oleh panca indera. Dan berita itu diterima dari sejumlah orang yang semacam itu juga. Berdasarkan itu, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu hadits bisa dikatakan sebagai hadits Mutawatir:
Isi hadits itu harus hal-hal yang dapat dicapai oleh panca indera.
Orang yang menceritakannya harus sejumlah orang yang menurut ada kebiasaan, tidak mungkin berdusta. Sifatnya Qath’iy.
Pemberita-pemberita itu terdapat pada semua generasi yang sama.
Hadits Ahad: Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak mencapai tingkat mutawatir. Sifatnya atau tingkatannya adalah “zhonniy”. Sebelumnya para ulama membagi hadits Ahad emmbagi menjadi dua macam, yakni hadits Shahih dan hadits Dha’if. Namun Imam At Turmudzy kemudian membagi hadits Ahad ini menjadi tiga macam, ditinjau dari segi nilai sanad :
Hadits Shahih
Menurut Ibnu Sholah, hadits shahih ialah hadits yang bersambung sanadnya. Ia diriwayatkan oleh orang yang adil lagi dhobit (kuat ingatannya) hingga akhirnya tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih) dan tidak mu’allal (tidak cacat). Jadi hadits Shahih itu memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :
Kandungan isinya tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.
Harus bersambung sanadnya
Diriwayatkan oleh orang / perawi yang adil.
Diriwayatkan oleh orang yang dhobit (kuat ingatannya)
Tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih)
Tidak cacat walaupaun tersembunyi.
Hadits shohih dibagi dua:

Shohih Lizatihi, yakni hadits yang shohih dengan sendirinya tanpa diperkuat dengan keterangan lainnya. Contohnya adalah sabda Nabi Muhammad saw., “Tangan di atas (yang memberi) lebih baik dari tangan di baivah (yang menerima). “ (HR. Bukhori dan Muslim)
Shohih Lighoirihi, yakni hadits yang keshohihannya diperkuat dengan keterangan lainnya. Contohnya sabda Nabi Muhammad saw., “Kalau sekiranya tidak terlalu menyusahkan umatku untuk mengerjakannya, maka aku perintahkan bersiwak (gosok gigi) setiap akan sholat.“ (HR. Hasan)
Dilihat dari sanadnya, semata-mata hadits Hasan Lizatihi, namun karena dikuatkan dengan riwayat Bukhori, maka jadilah ia shohih lighoirihi.
Hadits Hasan
Ialah hadits yang banyak sumbernya atau jalannya dan dikalangan perawinya tidak ada yang disangka dusta dan tidak syah.
Hadits hasan dibagi dua:
Hasan Lizatihi, yakni hadits yang dengan sendirinya dikatakan hasan. Hadits ini ada yang sampai ke tingkat lighoirihi;
Hasan Lighoirihi, yakni hadits yang derajat hasannya dibantu dengan keterangan lainnya. Contohnya sabda Nabi Muhammad saw., “Sembelihan bagi bayi hewan yang berada dalam perut ibunya, cukuplah dengan sembelihan ibunya saja.“ (HR. Tirmidzi, Hakim, dan Darimi)
Hadits di atas jika kita ambil sanad dari Imam Darimi, adalah Darimi menerima dari 1) Ishak bin Ibrohim, dari 2) Itab bin Bashir, dari 3) Ubaidillah bin Abu Ziyad, dari 4) Abu Zubair, dari 5) Jabir, dari Nabi Muhammad saw. Nama yang tercela dalam sanad di atas adalah nomor 3 (Ubaidillah bin Abu Ziyad). Sebab menurut Abu Yatim ia bukanlah seorang yang kuat hafalannya dan tidak teguh pendiriannya.
Hadits Dha’if
Ialah hadits yang tidak memenuhi syarat shohih dan hasan, hadits yang tidak bersambung sanadnya dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil
b. Pembagian Hadits Menurut Macam Periwayatannya

Hadits yang bersambung sanadnya
Hadits ini adalah hadits yang bersambung sanadnya hingga Nabi Muhammad SAW. Hadits ini disebut hadits Marfu’ atau Maushul.
Hadits yang terputus sanadnya
Hadits Mu’allaq
Hadits ini disebut juga hadits yang tergantung, yaitu hadits yang permulaan sanadnya dibuang oleh seorang atau lebih hingga akhir sanadnya, yang berarti termasuk hadits dha’if.
Hadits Mursal
Disebut juga hadits yang dikirim yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para tabi’in dari Nabi Muhammad SAW tanpa menyebutkan sahabat tempat menerima hadits itu.
Hadits Mudallas
Disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad ataupun pada gurunya. Jadi hadits Mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya.
Hadits Munqathi
Disebut juga hadits yang terputus yaitu hadits yang gugur atau hilang seorang atau dua orang perawi selain sahabat dan tabi’in.
Hadits Mu’dhol
Disebut juga hadits yang terputus sanadnya yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para tabi’it dan tabi’in dari Nabi Muhammad SAW atau dari Sahabat tanpa menyebutkan tabi’in yang menjadi sanadnya. Kesemuanya itu dinilai dari ciri hadits Shahih tersebut di atas adalah termasuk hadits-hadits dha’if.
c. Hadits-hadits dha’if disebabkan oleh cacat perawi

Hadits Maudhu’
Yang berarti yang dilarang, yaitu hadits dalam sanadnya terdapat perawi yang berdusta atau dituduh dusta. Jadi hadits itu adalah hasil karangannya sendiri bahkan tidak pantas disebut hadits.
Hadits Matruk
Yang berarti hadits yang ditinggalkan, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi saja sedangkan perawi itu dituduh berdusta.
Hadits Mungkar
Yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya / jujur.
Hadits Mu’allal
Artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadis Mu’allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa disebut juga dengan hadits Ma’lul (yang dicacati) atau disebut juga hadits Mu’tal (hadits sakit atau cacat).
Hadits Mudhthorib
Artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidak sama dan kontradiksi dengan yang dikompromikan.
Hadits Maqlub
Artinya hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi).
Hadits Munqalib
Yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah.
Hadits Mudraj
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang didalamnya terdapat tambahan yang bukan hadits, baik keterangan tambahan dari perawi sendiri atau lainnya.
Hadits Syadz
Hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (terpercaya) yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi (periwayat / pembawa) yang terpercaya pula. Demikian menurut sebagian ulama Hijaz sehingga hadits syadz jarang dihapal ulama hadits. Sedang yang banyak dihapal ulama hadits disebut juga hadits Mahfudz.
C. BEBERAPA PENGERTIAN (ISTILAH) DALAM ILMU HADITS

Hadist Muttafaq ‘Alaih
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sumber sahabat yang sama, atau dikenal juga dengan Hadits Bukhari – Muslim.
As Sab’ah
As Sab’ah berarti tujuh perawi, yaitu:
Imam Ahmad
Imam Bukhari
Imam Muslim
Imam Abu Daud
Imam Tirmidzi
Imam Nasa’i
Imam Ibnu Majah
As Sittah
Yaitu enam perawi yang tersebut pada As Sab’ah, kecuali Imam Ahmad bin Hanbal.
Al Khamsah
Yaitu lima perawi yang tersebut pada As Sab’ah, kecuali Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Al Arba’ah
Yaitu empat perawi yang tersebut pada As Sab’ah, kecuali Imam Ahmad, Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Ats tsalatsah
Yaitu tiga perawi yang tersebut pada As Sab’ah, kecuali Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim dan Ibnu Majah.
Perawi
Yaitu orang yang meriwayatkan hadits.
Sanad
Sanad berarti sandaran yaitu jalan matan dari Nabi Muhammad SAW sampai kepada orang yang mengeluarkan (mukhrij) hadits itu atau mudawwin (orang yang menghimpun atau membukukan) hadits. Sanad biasa disebut juga dengan Isnad berarti penyandaran. Pada dasarnya orang atau ulama yang menjadi sanad hadits itu adalah perawi juga.
Matan
Matan ialah isi hadits baik berupa sabda Nabi Muhammad SAW, maupun berupa perbuatan Nabi Muhammad SAW yang diceritakan oleh sahabat atau berupa taqrirnya.
D. BEBERAPA KITAB HADITS YANG MASYHUR / POPULER

Berikut dibawah ini adalah beberapa kitab-kitab hadis yang terkenal :

Shahih Bukhari, disusun oleh Bukhari (194-256 H)
Di dalam Shahîh al-Bukhariy terdapat 7275 hadits termasuk yang diulang, sedangkan jumlahnya tanpa diulang sebanyak 4000 hadits.
Ada ulama yang mengatakan bahwa hanya sedikit saja yang tidak dimuat mereka dari hadits- hadits shahih lainnya. Namun pendapat yang benar adalah bahwa banyak hadits-hadits shahih lainnya yang terlewati oleh mereka berdua. Imam al- Bukhariy sendiri mengakui hal itu ketika berkata, “Hadits-hadits shahih lainnya yang aku tinggalkan lebih banyak.”
Dia juga mengatakan, “Aku hafal sebanyak seratus ribu hadits shahih dan dua ratus ribu hadits yang tidak shahih.”
Shahih Muslim, disusun oleh Muslim (204-262 H)
Diriwayatkan dari Ahmad bin Salamah yg berkata “Aku menulis bersama Muslim utk menyusun kitab Sahihnya itu selama 15 tahun. Kitab itu berisi 12.000 buah hadits.Dalam pada itu Ibn Salah menyebutkan dari Abi Quraisy al-Hafiz bahwa jumlah hadits Sahih Muslim itu sebanyak 4.000 buah hadits. Kedua pendapat tersebut dapat kita kompromikan yaitu bahwa perhitungan pertama memasukkan hadits-hadits yg berulang-ulang penyebutannya sedangkan perhitungan kedua hanya menghitung hadits-hadits yg tidak disebutkan berulang.Imam Muslim berkata di dalam Sahihnya “Tidak tiap hadits yg sahih menurutku aku cantumkan di sini yakni dalam Sahihnya. Aku hanya mencantumkan hadits-hadits yg telah disepakati oleh para ulama hadits.”Imam Muslim pernah berkata sebagai ungkapan gembira atas karunia Tuhan yg diterimanya “Apabila penduduk bumi ini menulis hadits selama 200 tahun maka usaha mereka hanya akan berputar-putar di sekitar kitab musnad ini.”Ketelitian dan kehati-hatian Muslim terhadap hadits yg diriwayatkan dalam Sahihnya dapat dilihat dari perkataannya sebagai berikut “Tidaklah aku mencantumkan sesuatu hadits dalam kitabku ini melainkan dgn alasan; juga tiada aku menggugurkan sesuatu hadits daripadanya melainkan dgn alasan pula.””
Sunan Abu Daud, disusun oleh Abu Dawud (202-275 H)
Sunan at-Turmudzi, disusun oleh At-Turmudzi (209-279 H)
Sunan an-Nasa’i, disusun oleh an-Nasa’i (215-303 H)
Sunan Ibnu Majah, disusun oleh Ibnu Majah (209-273).
Imam Ahmad bin Hambal
Imam Malik
Ad-Darimi
HADIST BERTENTANGAN DENGAN ALQURAN

Bagaimanakah kalau ada hadis yang bertentangan dengan alquran ? Kalo Ada hadits yang bertentangan dengan Al Quran, maka hadis tersebut tertolak.   telusuri dulu sanad dan matannya. Termasuk waktu kejadian nya, kapan turunnya dll. R asulullah bersabda (dalam hadis mutawatir), ‘Barang siapa yang sengaja berdusta atasku maka hendaklah dia mengambil tempat duduknya dari neraka.’

Dalam hadis lain, ‘Barang siapa menceritakan hadis dariku, yang diduga ia adalah dusta, maka ia termasuk dari dua pendusta.’
Namun, tugas akal–kaitannya dengan Alquran dan as-sunnah, ialah untuk memahaminya, bukan untuk menolak dan membantahnya. Jadi, kalau ada pertentangan maka yang disalahkan adalah akal, bukan nash.” (Syekh Ali bin Hasan Al-Halabi)

Allah berfirman jika ada perselisihan persoalan maka kemblikan msalah itu kepada AlQuran “Apapun yang kamu perselisihkan, maka putusannya (hendaklah di kembalikan) kepada Allah”. (QS : Asy Syuura 10)

itu artinya kembalikan semua kpd Alquran jika terdapat hadits yg bertentangan dengan Alquran maka hadits itu tertolak

Pengumpulan hadis sebagai kitab baru muncul sekitar 200 tahun setelah wafatnya Rasulullah Sallallahu ‘alaiwi wasallam jadi sangat rentan juga hadits-hadits palsu yg bukan langsung dari rosulullah beredar seperti contohnya hadits dari hisam yg meriwayatkan umur aisyah yg benar-benar salah tidak mendasar .

Sangat gampang untuk membuat hadits palsu/dhoif berikut yg bukanlah berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam, contoh :

“dari moslem bin annas bin marwah alkhatiri .dlam riwayatnya,rosulullah pernah bersabda : berzinalah kalian,karena zina itu tidak termasuk dosa” (HR. moslem dan sahih moslem vol sekian sekian)

HADIST PALSU di atas tertolak dikarenakan :

1.) karena kita harus telusuri dulu perangainya si moslem tadi, jujur kah orangnya dalam keseharinya? ber akal sehat kah si moslem ini ? terputus kah silsilahnya perawinya dia ? dan memang si moslem ini selama hidupnya tidak pernah bersama-sama rosulullah dan si moslem ini selama hidupnya berada di Indonesia .

2.) hadits ini tertolak karena bertentangan dengan Al-Quran itu artinya hadits ini bukanlah asli dari rosulullah , dalam AlQuran tidak boleh mendekati zina dan berzina termasuk dosa besar dan ini sangat jelas bertentangan dari hadits yg di buat oleh “moslem tadi dengan Al-Quran.

Jgn bangga jadi orang awam!!!

Ayo Menuntut Ilmu, Jangan Bangga Sebut Awam!
wiemasen September 24, 2016 0 Comment
RUTINITAS keseharian kadangkala membuat sebagian dari kita menjadi  lupa terhadap pentingnya menuntut ilmu. Hari demi hari pun dilalui tanpa adanya peningkatan kualitas ilmu. Akhirnya, banyak di antara umat Islam yang tingkah lakunya tidak lagi sesuai dengan ajaran Islam.

Pada saat yang sama umat Islam harus berhadapan dengan gelombang jahiliyah modern, yang menjadikan kebanyakan umat Islam kian jauh dari ajaran agamanya. Bahkan ada (karena ilmunya yang sangat minim) yang enjoy saja meninggalkan sholat. Tak nampak sedikit pun rasa gelisah apalagi merasa salah dan berdosa.

Hal ini tentu bukan perkara remeh, justru sangat serius. Sebab sholat merupakan rukun Islam yang menjadi pilar utama tegaknya keimanan dalam diri seorang Muslim. Dalam hadis disebutkan bahwa sholat adalah tiang agama. Siapa yang tidak mendirikan sholat maka ia telah merobohkan agama.

Belum lagi fenomena generasi muda yang kini boleh dikatakan cukup asing dengan al-Qur’an. Jangankan memahami kandungan al-Qur’an, membacanya pun jarang bahkan ada yang tidak bisa membaca al-Qur’an.

Hal inilah yang menjadikan mayoritas umat Islam terseret dalam arus materialisme-kapitalisme. Pergaulan bebas merajalela, kemaksiatan tak terkendali, dan tipu-menipu membudaya. Sampai akhirnya sampailah mereka pada kesimpulan sesat dengan mengatakan, “Mencari yang haram saja susah apalagi yang halal.”  Mengapa pikiran itu tidak kita rubah dengan mengatakan, “Lebih baik mencari sedikit asal halal dan berkah.”

Ada pula pemahaman agak menyesatkan yang menjadi penyakit banyak orang.  Sering di antara kita mengatakan, “Saya ini orang awam, tidak paham agama.” Atau “Saya bukan mahasiswa IAIN dan lulusan pesantren. Jadi biarlah ini diurusi anak IAIN.”

Pernyataanya, sejak kapan kita menjadi Muslim? Jika kita menjadi muslim baru satu-dua tahun, layaknya para muallaf (orang yang baru memeluk Islam), maka, istilah awam menjadi benar.

Sebaliknya sangat ironis,  kita telah Islam semenjak lahir. Tetapi hingga usia kita di atas 30 tahun, kita masih juga menyebut diri awam (maaf, bodoh, red).  Jadilah kita menjadi awam seumur hidup.

Fenomena semacam ini sangat lazim kita jumpai. Bagaimana banyak orang berbanggga menjadi awam terhadap agamanya sendiri.

Dalam pengertian Islam, istilah awam yang benar, seharusnya seorang Muslim sudah mengerti dasar-dasar dan hukum agama. Namun dalam pengertian masyarakat saat ini, awam yang dimaksud adalah jahil, di mana ia justru tidak mengerti sama sekali hukum-hukum agamanya sendiri dan tidak ada usaha dan keinginan untuk belajar menuju lebih baik agar lebih mengerti. Yang terakhir inilah yang banyak kita dapati.

Mereka menjadi awam dalam ilmu-ilmu agama bukan karena otaknya bodoh, tetapi bisa karena ia tak mau dan tak ada usaha untuk mempelajari agamanya secara sungguh-sungguh. Selain itu juga karena mereka tidak memahami konsepsi ilmu dalam Islam.

Pemahaman sesat seperti itu adalah dampak dari kurangnya kepedulian umat Islam terhadap ilmu, sehingga iman terpenjara oleh kepentingan nafsu. Seorang Muslim yang imannya terpenjara oleh hawa nafsunya, maka akal dan pikirannya akan mendorong dia semakin jauh dari keberkahan hidup dunia dan akhirat. Dan itulah yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa-ta’ala (ÓÈÍÇäå æ ÊÚÇáìý).

Imam Al- Ghazali  dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin menjelaskan masalah-masalah aqidah dan ibadah wajib,  termasuk ilmu yang fardhu ‘ain (ilmu yang wajib dipelajari). Ilmu yang fardhu ‘ain adalah ilmu yang diperlukan untuk mengamalkan kewajiban sebagai orang Islam (individu).   Contohnya mempelajari ilmu wajib,  sunnah,  makruh, mubah dan subhat dan hal-hal berkaitan dengan syariat Islam adalah wajib.

Sedang ilmu yang fardhu kifâyah dibebankan sebagai kewajiban kelompok. Ilmu seperti ini contohnya  ilmu kedokteran, ilmu ekonomi dan ilmu-ilmu lain yang berkembang di masyarakat. Jika sebagian kaum Muslimin sudah menguasai ilmu itu, maka  gugurlah kewajiban sebagian kaum Muslimin lainnya.

Shalat yang benar, mengerti halal dan haram, benar dalam thaharah adalah kewajiban setiap orang Muslim.

Dengan ilmu seorang Muslim bisa mengenal Allah dengan benar. Dan, tanpa ilmu seorang Muslim bisa terseret pada bujuk rayu syetan. Oleh karena itu, ilmu adalah perkara pokok yang wajib bagi setiap Muslim.

Seorang Muslim, menurut Fakhruddin al-Razi (544 – 606 H), wajib memiliki ilmu sebelum memohon ampun kepada Allah Subhanahu wa-ta’ala (ÓÈÍÇäå æ ÊÚÇáìý).

Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. (QS. 47: 19).

Coba perhatikan ayat di atas, perintah berilmu (mengenal ketauhidan Allah dalam bahasa Al-Razi) Allah dahulukan daripada perintah memohon ampunan. Hal ini menunjukkan bahwa, seorang Muslim hanya akan mampu taat, tunduk, dan patuh kepada Allah  Subhanahu wa-ta’ala (ÓÈÍÇäå æ ÊÚÇáìý)manakala ia benar-benar mengetahui dengan sebenar-benarnya siapa Allah Subhanahu wa-ta’ala (ÓÈÍÇäå æ ÊÚÇáìý).

Seperti yang telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim as, pertama yang diminta olehnya kepada Allah adalah ilmu baru kemudian kesholehan.

(Ibrahim berdoa): “Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang sholeh.” (QS. 26: 83).

Hikmah menurut Al-Razi adalah kesempurnaan pemahaman akan hakikat segala sesuatu. Jadi, nabi Ibrahim memohon kepada Allah agar dikuatkan kesempurnaan ilmu yang dimiliki, dan diberikan kekuatan untuk mampu mengamalkan ilmu tersebut, sebagaimana hamba-hamba Allah yang sholeh.

Dua ayat tersebut, cukup menjadi bukti bahwa menuntut ilmu (mengenal Allah Subhanahu wa-ta’ala (ÓÈÍÇäå æ ÊÚÇáìý) secara haq) adalah hal yang utama. Dengan demikian maka, setiap Muslim hendaknya setiap hari berupaya mempertajam keimanannya dengan berusaha secara serius mengenal Allah Subhanahu wa-ta’ala (ÓÈÍÇäå æ ÊÚÇáìý) dengan benar.

Di mana Menuntut Ilmu?

Secara umum, menuntut ilmu itu bisa dilakukan di mana saja, dan kapan saja. Tentu menuntut ilmu yang paling baik adalah ketika kita berusaha memahami, menggali, mengkaji, meneliti kandungan-kandungan firman-Nya di dalam al-Qur’an.

Atau bisa juga dilakukan dengan cara mengamalkan perintah-perintah Allah Subhanahu wa-ta’ala (ÓÈÍÇäå æ ÊÚÇáìý). Tentang sabar misalnya, maka praktikkan saja sabar itu, walau berat terasa. Sebab dengan cara mengamalkan itulah kita akan sampai pada satu pemahaman haqqul yakin bahwa sabar itu memang bermanfaat besar bagi kehidupan kita.

Perilaku kita harus berbeda dengan para orientalis. Di mana mereka mengkaji al-Qur’an dan Hadits namun tidak pernah mengimaninya. Hanya menjadi obyek penelitian semata.

Karenanya,  siapapun seorang Muslim yang banyak mengerti tentang Islam namun tidak atau jarang mengamalkannya, maka dia juga tidak akan sampai pada kenikmatan menjadi seorang Muslim yang sesungguhnya.

Budayakan Menuntut Ilmu

Sungguh kita tidak boleh lengah terhadap pentingnya ilmu. Imam Ghazali menyatakan secara tegas bahwa jika ada seorang Muslim yang selama tiga hari tidak mengisi hatinya dengan ilmu, maka ia akan menjadi bangkai berjalan. Ini menjadi bukti nyata bahwa ilmu benar-benar perkara utama.

Bagaimana kita membudayakan menuntut ilmu? Bisa dengan cara menghadiri majlis taklim, pengajian, majelis-majelis ilmu atau sengaja sungguh-sungguh kembali belajar al-Quran dan isi kandungannya, tafsirnya, dan hukum-hukum Islam secara teratur agar bisa mengamalkannya?

Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (Õáì Çááå Úáíå æ Óáã)  bersabda, “Menuntut ilmu wajib setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah).

Dalam hadits lain  Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (Õáì Çááå Úáíå æ Óáã)  bersabda, “Menuntut ilmu adalah wajib bagi Muslim dan Muslimah mulai dari dalam kandungan hingga liang lahat.” (HR. Bukhari).

Tentu pengertiannya tak terbatas dengan umur kita saat ini. Kapanpun ada kesempatan, kita wajib meraihnya.

Ilmu yang dimaksud Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (Õáì Çááå Úáíå æ Óáã)  dalam hadits ini adalah ilmu yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah yang Allah wajibkan kepada setiap hambanya yang Muslim. Setiap muslim wajib mempelajari ilmu tersebut; karena sah atau tidaknya ibadah yang dilakukannya tergantung dengan pengetahuannya. Jangan sampai ketika usia kita sudah di atas 35 tahun dan telah memiliki banyak keturunan, kita masih tidak mengerti hal-hal dasar dan hukum-hukum dalam agama kita sendiri. Apalagi tetap bangga mengaku “awam”. Wallahu a’lam bish-shawab.*/Imam Nawawi

Cara memahami hukum islam

Cara Mudah Memahami Asal Ajaran Fiqh Yang Kita Amalkan
wiemasen July 14, 2016 2 Comments
Sebagai orang awam, kita tidak langsung mengambil hukum-hukum baik dari al-Qur’an ataupun as-Sunnah secara langsung. Kita memerlukan ulama-ulama al-Quran, ulama-ulama hadist dan ulama-ulama fiqh untuk menghasilkan hukum-hukum syari’ah dan menerangkan kepada kita.

Diagram di bawah ini digunakan untuk memudahkan pemahaman dimana posisi kita ketika melaksanakan hukum-hukum Islam yang menyangkut dengan fiqh.

Ulama fiqh sendiri tidak langsung mengambil mentah-mentah dari al-Quran dan hadist, tetapi mereka menggunakan hasil penelitian ulama-ulama al-Qur’an dan Hadist. Ini dikarenakan ilmu-ilmu yang menyangkut al-Quran dan Hadist sudah cukup rumit. Apalagi kalau harus ditambah dengan ilmu-ilmu fiqh. Seberapa rumitnya ilmu-ilmu tersebut dapat dibaca dari penjelasan-penjelasan di bawah ini.

Ulama-ulama al-Qur’an harus menguasai ilmu-ilmu di bawah ini:

Ilmu tajwid yang membaguskan bacaan lafadz AL-Quran
Ilmu qiraat (bacaan) Al-Quran, sepertiqiraah-sab’ah yang bervariasi dan perpengaruh kepada makna dan hukum.
Ilmu tafsir, yang mempelajari tentang riwayat dari nabi SAW tentang makna tiap ayat, juga dari para shahabat dan para tabi’in dan atbaut-tabi’in.
Ilmu tentang asbababun-nuzul, yaitu sebab dan latar belakang turunnya suatu ayat.
Ilmu tentang hakikat dan majaz yang ada pada tiap ayat Quran
Ilmu tentang makna umum dan khusus yang dikandung tiap ayat Quran
Ilmu tentang muhkam dan mutasyabihat dalam tiap ayat Quran
Ilmu tentang nasikh dan mansukh dalam tiap ayat Quran
Ilmu tentang mutlaq dan muqayyad, manthuq dan mafhum
Ilmu tentang i’jazul quran, aqsam, jadal, qashash dan seterusnya
Melihat betapa rumitnya ilmu-ilmu al-Qur’an tersebut, hampir bisa dipastikan orang awam tidak memiliki kemampuan untuk menafsirkan al-Qur’an secara langsung. Kalau ada yang mencoba menafsirkannya, maka yang didapat adalah hasil tafsiran yang cacat dan menyeleweng. Itulah yang terjadi kepada “orang awam nomor 7” di gambar tersebut. Apa yang bisa dilakukan oleh orang awam adalah merujuk kepada kitab-kitab tafsir yang dihasilkan oleh ulama-ulama tafsir al-Qur’an yang muktabar yaitu ulama-ulama tafsir yang sudah diakui oleh kalangan akademisi Islam. Jadi bukannya kitab-kitab tafsir yang dihasilkan oleh ulama-ulama al-Qur’an yang tidak diketahui kapasitas keilmuwannya.

Ulama Hadist

Seperti yang kita ketahui bahwa hadist-hadist itu berjumlah puluhan ribu. Di antaranya ada yang berulang, ada yang shahih, dhaif, palsu, dsb. Lalu bagaimanakah kita mengetahui mana hadist-hadist yang shahih, dhaif ataupun palsu? Disitulah kapasitas ulama-ulama hadist diperlukan. Mereka memiliki ilmu dan alat untuk menyeleksi hadist-hadist tersebut. Bisa dikatakan, ilmu-ilmu hadist adalah ilmu “science” Islam yang sangat kompleks. Tidak ada ilmu-ilmu agama lainnya di dunia ini yang mampu menyaingi kerumitan ilmu hadist. Hanya mereka-mereka yang memiliki otak-otak brilian sajalah yang mampu menguasai ilmu ini. Kalau tidak percaya coba hitung ada berapa ulama-ulama hadist di Indonesia saja. Sangat…sangat sedikit.

Ilmu-ilmu yang perlu dikuasai oleh para ulama hadist adalah sebagai berikut:

Ilmu tentang sanad dan jalur periwayatan serta kritiknya
Ilmu tentang rijalul hadits dan para perawi
Ilmu tentang Al-Jarhu wa At-Ta’dil
Ilmu tentang teknis mentakhrij hadits
Ilmu tentang hukum-hukum yang terkandung dalam suatu hadits
Ilmu tentang mushthalah (istilah-istilah) yang digunakan dalam ilmu hadits
Ilmu tentang sejarah penulisan hadits yang pemeliharaan dari pemalsuan
Nah orang-orang yang menolak hadist ini adalah mereka yang ingin menafsirkan hadist-hadist itu sendiri tanpa memiliki ilmu. Akibatnya hadil tafsirannya mereka menjadi menyesatkan hingga banyak dikritik secara hebat oleh ilmuwan-ilmuwan hadist. Karena merasa putus asa, mereka memutuskan untuk meninggalkan hadist sama sekali dan berlindung dari alasan bahwa hadist-hadist itu banyak tidak benarnya. Jadi umat Islam tidak perlu mengikuti hadist, cukup dengan al-Qur’an saja. Mereka inilah yang disebut dengan anti-Hadist. Mereka menganggap remeh ilmu-ilmu hadist, karena mereka jahil terhadap ilmu tersebut.

Ulama Fiqh/Ushul Fiqh

Setelah memiliki kitab-kitab tafsir al-Qur’an dan kitab-kitab Hadist berserta tafsirannya, selesaikah urusan disitu? Dengan kata lain mampukah kita sebagai orang awam untuk berijtihad sendiri berdasarkan kedua sumber tersebut? Jawabannya adalah tidak. Orang awam masih memerlukan ulama-ulama Fiqh/Ushul Fiqh guna mengeluarkan hukum-hukum Islam dari kedua sumber tersebut. Analoginya adalah ulama-ulama Fiqh/Ushul Fiqh adalah sebagai tukang masak yang mengambil bahan-bahan mentah dari ulama-ulama tafsir dan hadist. Sebagai tukang masak, hasil masakannya pun bisa berbeda tergantung dari lokasi dan lingkungan sosial setempat, juga tergantung bagaimana cara mereka meracik hadist-hadist dan tafsir al-Quran tersebut. Bisa saja mereka memiliki pandangan yang berbeda tentang mengimplimentasikan sebuah ayat al-Qur’an. Bisa saja mereka berbeda pendapat dalam penggunaan sebuah hadist untuk mengeluarkan hukum-hukum agama.

Ilmu-ilmu yang diperlukan untuk menjadi ulama-ulama Fiqh/Ushul Fiqh adalah:

Ilmu tentang sejarah terbentuknya fiqih Islam
Ilmu tentang perkembangan fiqh dan madzhab
Ilmu tentang teknis pengambilan kesimpulan hukum (istimbath)
Ilmu ushul fiqih (dasar-dasar dan kaidah asasi dalam fiqih)
Ilmu qawaid fiqhiyah
Ilmu qawaid ushuliyah
Ilmu manthiq (logika)
Ilmu tentang iIstilah-istilah fiqih istilah fiqih madzhab
Ilmu tentang hukum-hukum thaharah, shalat, puasa, zakat, haji, nikah, muamalat, hudud, jinayat, qishash, qadha’, qasamah, penyelenggaraan negara dan seterusnya.
Sangatlah naif kalau ada orang awam yang mengingkari kontribusi ulama-ulama fiqh/ushul fiqh tersebut, dengan mengatakan bahwa mereka mampu mengeluarkan hukum sendiri. Padahal kajian atau penelitian dari ulama-ulama fiqh saja bisa beragam dan terkelompok ke dalam mazhab-mazhab. Mazhab ini bisa dikatakan sebagai pengelompokan ilmuwan-ilmuwan fiqh yang menggunakan metodologi yang sama ketika mengeluarkan hukum-hukum agama. Jadi ulama-ulama fiqh dikatakan bermazhab Syafi’i apabila menggunakan metodologi-metodologi yang dibangun oleh Imam Syafi’i ketika beliau mengeluarkan ijtihad dalam hukum-hukum agama. Sebagai orang awam apa yang kita punya. Nothing, tidak ada sama sekali. Jadi apa yang perlu dilakukan oleh orang awam?

Orang Awam

Orang awam memerlukan seseorang yang mengerti ilmu agama untuk menerangkan hukum-hukum fiqh kepada mereka. Disinilah mereka memerlukan seorang guru, ustadz, atau apa saja untuk menjelaskan hukum-hukum tersebut. Dimana guru-guru atau ustadz-ustadz ini memiliki kemampuan untuk memahami hasil-hasil kajian para ulama fiqh.

Apa yang ustadz-ustadz ini biasa lakukan adalah menerangkan apa yang perlu dibuat oleh orang awam menurut mazhab tertentu. Biasanya mereka tidak menjelaskan dalil-dalil mengapa orang awam perlu melakukan hal tersebut. Dalam hal ini kedudukan orang awam dalam keadaan taqlid yaitu mengikuti apa yang dikatakan oleh ustadz tersebut. Kalau ustadz tersebut mengatakan bahwa hanya apa yang diajarkan oleh olah ustadz itu saja yang betul, maka orang awam akan percaya mentah-mentah. Kalau ustadz tersebut mengatakan ajaran selain ustadz adalah tidak sunnah, maka orang awam percaya mentah-mentah. Di sinilah seorang ustadz bisa membuat orang awam menjadi taqlid buta dan tidak bisa menerima pendapat yang lain. Itulah yang mungkin terjadi pada orang awam 1 ataupun 3. Walaupun orang awam 1 dan 3 termasuk dalam golongan ahlussunnahwaljama’ah, prilaku mereka tidak sunnah sama sekali.

Jadi apa yang mereka perlu lakukan adalah selalu bertanya kepada ustadz yang mengajar mereka, apa dalil-dalil disebalik hukum-hukum agama yang diajarkan ustadz tersebut. Disini prilaku orang awam tersebut menjadi lebih sunnah karena tidak mengikuti dan percaya bulat-bulat.

Kalau orang awam tersebut memiliki keinginan untuk belajar sendiri dari kitab-kitab ulama fiqh, maka itu lebih baik lagi seperti yang dilakukan oleh orang awam 2, 4 dan 6. Tentu saja ini memerlukan usaha dan waktu lebih, dan tidak semuanya mampu melakukan hal tersebut. Apalagi sampai harus meniliti dari kitab-kitab dari mazhab lain. Ini makin susah saja. Oleh sebab itu kita bisa memanfaatkan hasil kajian ulama-ulama fiqh terkini yang melakukan fiqh perbandingan.

Ulama Fiqh Perbandingan

Apa yang dilakukan oleh ulama-ulama fiqh perbandingan adalah membandingkan hukum-hukum yang terhasil dari kajian berbagai mazhab dan memilih mana yang lebih kuat dan relaistis berdasarkan kondisi sekarang ini. Terkadang orang menuduh, kalau menggunakan hasil kajian ulama-ulama fiqh perbandingan ini maka dianggap sebagai tidak bermazhab dan haram hukumnya. Padahal mazhab-mazhab itu lebih terkait ketika mengeluarkan hukum-hukum Islam. Sedangkan orang awam sendiri bebas mengikuti pendapat manapun yang mereka suka selama masih dalam koridor syari’ah. Dalam hal ini ulama-ulama telah menetapkan  syarat-syarat tertentu bagi orang awam untuk menagmbil pendapat dari mazhab lain. Ini untuk menghindarkan orang awam hanya mengambil pendapat-pendapat yang lemah saja dari mazhab-mazhab yang ada.

Ilmu-Ilmu Lainnya

Selain ilmu-ilmu yang disebutkan diatas, para ulama al-Qur’an, hadist, dan fiqh juga memerlukan ilmu-ilmu berikut ini.

Ilmu-ilmu yang terkait dengan bahasa Arab:

Ilmu Nahwu (gramatika bahasa arab)
Ilmu Sharaf (perubahan kata dasar)
Ilmu Bayan
Ilmu tentang Uslub
Ilmu Balaghah
Ilmu Syi’ir dan Nushus Arabiyah
Ilmu ‘Arudh
Ilmu-ilmu yang terkait dengan sejarah:

Tentang sirah (sejarah nabi Muhammad SAW)
Tentang sejarah para nabi dan umat terdahulu dan bentuk-bentuk syariat mereka
Sejarah tentang Khilafah Rasyidah
Sejarah tentang Khilafah Bani Umayyah, Bani Abasiyah, Bani Utsmaniyah dan sejarah Islam kontemporer.
Ilmu-ilmu kontemporer:

Ilmu politik dan perkembangan dunia
Ilmu ekonomi dan perbankan
Ilmu sosial dan cabang-cabangnya.
Ilmu psikologi dan cabang-cabangnya
lmu hukum positif dan ketata-negaraan
Ilmu-ilmu populer
Melihat betapa kompleksnya ilmu-ilmu agama yang diperlukan, maka adalah kehilangan yang sangat besar apabila ulama-ulama yang ahli dibidangnya ditarik satu-persatu oleh Allah tanpa ada penggantinya. Maka kematian ulama-ulama inilah yang patut ditangisi, bukannya kematian tokoh-tokoh filem, istana, olahraga ataupun politik. Juga sangat tidak sepatutnya kita menghina dan menganggap remeh ulama-ulama tersebut, seperti yang dilakukan oleh sebagian orang.

Sebelum menutup tulisan ini, saya ingin bertanya apa yang salah dengan orang awam 8?

Rujukan:

1. Daftar ilmu-ilmu agama, saya ambil dari tulisan Ahmad Syarwat.

2. Diagram diatas adalah berdasarkan pemahaman saya yang disederhanakan. Yang sesungguhnya bisa lebih rumit dari itu.

Mengenal Sejarah Asal Mula Adanya Ilmu Tajwid


Mengenal Sejarah Asal Mula Adanya Ilmu Tajwid

Asal kata Tajwid yaitu dari kata bahasa Arab “jawwada - yujawwidu- tajwiidan”  (جوَّدَ يجوِّد ، تجويدًا ، فهو مُجوِّد ، والمفعول مُجوَّد) berarti membuat sesuatu menjadi bagus. Di dalam beberapa buku tajwid disebutkan bahwa istilah ini muncul ketika seseorang bertanya kepada khalifah ke-empat, ‘Ali bin Abi Thalib tentang firman Allah yang berbunyi :

ورتل القرأن ترتيلا

Beliau menjawab bahwa yang dimaksud dengan kata tartil adalah tajwiidul huruuf wa ma’rifatil wuquuf, yang berarti membaca huruf-hurufnya dengan bagus (sesuai dengan makhraj dan shifat) dan tahu tempat-tempat waqaf. Selama ini memang belum ditemukan musnad tentang perkataan beliau mengenai hal di atas, dan kisah ini hanya terdapat dalam kitab tajwid. Akan tetapi para ulama’ bersepakat bahwa yang dimaksud dengan tartil adalah tajwiidul huruuf wa ma’rifatil wuquuf.

Untuk menghindari kesalahpahaman antara tajwid dan qiraat, maka perlu diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan tajwid. Pendapat sebagian ulama memberikan pengertian tajwid sedikit berbeda, namun pada intinya sama. Secara bahasa, tajwid berarti al-tahsin atau membaguskan. Sedangkan menurut istilah yaitu, mengucapkan setiap huruf sesuai dengan makhrajnya menurut sifat-sifat huruf yang mesti diucapkan, baik berdasarkan sifat asalnya maupun berdasarkan sifat-sifatnya yang baru.

Sebagian ulama yang lain medefinisikan tajwid sebagai berikut: “Tajwid ialah mengucapkan huruf(al-Quran) dengan tertib menurut yang semestinya, sesuai dengan makhraj serta bunyi asalnya, serta melembutkan bacaannya dengan sempurna mungkin tanpa berlebihan ataupun dibuat-buat”.

Kapan Ilmu Tajwid Mulai Ada ?

Jika ditanyakan kapan asal mula ilmu Tajwid, maka pada dasarnya ilmu ini telah ada sejak al-Quran diturunkan kepada Rasulullah SAW. Ini karena Rasulullah SAW sendiri diperintahkan untuk membaca al-Quran dengan tajwid dan tartil seperti yang disebut dalam

وَرَتِّلِ الْقُرْآَنَ تَرْتِيلًا

“Bacalah al-Quran itu dengan tartil (perlahan-lahan)”. (QS. Al-Muzammil 73 : 4)

Kemudian Rasulullah SAW mengajar ayat-ayat tersebut kepada para sahabat dengan bacaan yang tartil. Para sahabat menguasai semua itu seperti yang telah di ajarkan malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Diantaranya seperti Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit dan lain sebagainya.
.
Semua ini menunjukkan bahwa pembacaan al-Quran bukanlah suatu ilmu hasil dari ijtihad (fatwa) para ulama’ yang di olah berdasarkan dalil-dalil dari al-Quran dan Sunnah, tetapi pembacaan al-Quran adalah suatu yang taufiqi (diambil terus) melalui riwayat dari sumbernya yang asal yaitu sebutan dan bacaan Rasulullah SAW.

Akan tetapi bagaimanapun, yang dianggap sebagai penulisan ilmu tajwid yang paling awal adalah ketika adanya kesadana akan perlunya mushaf Utsmaniah yang ditulis oleh Sayyidina Utsman diberikan titik-titik pada huruf-hurufnya, kemudian baris-baris bagi setiap huruf dan pelafalannya. Gerakan ini diketuai oleh Abu Aswad Ad-Duali dan Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi, dimana ketika itu Khalifah umat Islam memiliki tugas  besar untuk hal ini disaat umat Islam mulai ada yang melakukan kekeliruan didalam bacaan.

Itu karena ketika masa Sayyidina Ustman, belum diberi titik-titik maupun harakat, sebab bertujuan memberi keleluasaan kepada para sahabat dan tabi’in pada masa itu untuk membacanya sebagaimana yang mereka telah ambil dari Rasulullah SAW, berdasarkan dengan dialek bangsa Arab yang beraneka ragam.

Tetapi setelah berkembang luasnya agama Islam ke seluruh tanah Arab serta takluknya Roma dan Persia ke tangan umat Islam pada tahun pertama dan kedua Hijrah, bahasa Arab mulai bercampur dengan bahasa penduduk-penduduk yang ditaklukkan umat Islam. Ini telah menyebabkan terjadinya beberapa kekeliruan didalam penggunaan bahasa Arab dan demikian juga dengan pembacaan al-Quran. Maka, al-Quran Mushaf Utsmaniah diberi tambahan titik-titik dan harakat pada huruf-hurufnya untuk menghidari kekeliruan-kekeliruan tersebut.

Permulaaan Pembukuan Ilmu Tajwid

Orang yang pertama kali menghimpun ilmu ini dalam bentuk kitab adalah Al-Imam al-‘Adhim Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam pada abad ke-3 Hijriyah didalam kitabnya “Kitabul Qiraa-at/  كتاب القراءات”. Sebagian ada yang mengatakan bahwa orang yang pertama mengarang dan menghimpun ilmu-ilmu qira-at adalah Hafsh bin Umar Ad-Duriy.

Adapun pada abad ke-4 Hijriyah, masyhur seorang imam bernama Al-Hafidz Abu Bakar bin Mujahid Al-Baghdadiy, ia merupakan orang yang pertama kali mengarang kitab mengenai bacaan 7 qira’at yang masyhur (Kitab al-Sab’ah). Ia wafat pada tahun 324 H.

Memasuki abad ke-5 Hijriyah, masyhur nama Al-Hafidz Al-Imam Abu ‘Amr Ustman bin Sa’id Ad-Dani, pengarang kitab Al-Taysir (التيسير) yang berisi tentang qira-at Sab’ah dan menjadi sandaran pada ahli Qurra’. Ia juga memiliki banyak karangan dalam bidang seni qiraat dan lainnya. Dimasa ini juga masyhur, seorang ulama bernama Al-Imam Makki bin Abi Thalib Al-Qaisi Al-Qairawani, ia mengarang bermacam-macam kitab tentang qira’at dan ilmu-ilmu Al-Qur’an.

Pada abad ke-6 Hijriyah, tampil seorang ulama yang menjadi rujukan tokoh-tokoh ulama yang sezaman dengannya maupun datang setelahnya, dengan karangannya bernama “Hirzul Amani wa Wajhut Tahani” atau terkenal dengan “Matan Syathibiyah”, berisi 1173 bait tentang qira-at sab’ah. Ia adalah Abul Qasim bin Fairah bin Khalaf bin Ahmad Ar-Ru’aini Al-Syathibi al-Andalusi, wafat pada tahun 590 H.

Setelah itu, banyak ulama yang menekuni bidang ini disetiap masa, menegakkan panji-panji al-Qur’an baik dengan membaca dan mengaplikasikannya, hingga akhirnya muncul tokoh penting dalam bidang ilmu tajwid dan qira-at yaitu Imamul Muhaqqiqin wa Syaikhul Muqri-iin Muhammad Ibnu Al-Jazari Al-Syafi’I dengan karangannya Al-Nasyr fil Qiraa-atil ‘Asyr, Thayyibatun Nasyr dan Ad-Duratul Mudhiyyah yang mempolopori bahwa ilmu qira-at ada 10, yaitu sebagai pelengkap apa yang telah dinyatakan oleh Imam al-Syathibi didalam kitab Hirzul Amani.

Imam Al-Jazari juga telah mengarang karangan yang berasingan bagi ilmu Tajwid dalam kitabnya “At-Tamhid” dan puisi beliau yang lebih terkenal dengan nama “Matan Al-Jazariah”. Imam Al-Jazari telah mewariskan karangan-karangannya yang begitu banyak berserta bacaannya sekali yang kemudiannya telah menjadi ikutan dan panduan bagi karangan-karangan ilmu Tajwid dan Qiraat serta bacaan al-Quran hingga ke hari ini. []

17 ilmu memahami alquran

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)

Pada jaman akhir ini Perselisihan karena perbedaan pemahaman yang terjadi  boleh jadi dikarenakan segelintir kaum muslim terhasut atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi sehingga cara memahami Al Qur'an dan Hadits mengikuti cara  pemahaman  yang serampangan menurut pikiran dan nafsunya mereka sendiri.

Mereka memahami Al Qur'an dan Hadits dengan makna dzahir atau yang kami namakan pemahaman dengan metodologi “terjemahan saja” berdasarkan arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi). Hal ini umum terjadi pada mereka yang memahami agama berlandaskan muthola’ah , menelaah kitab dengan akal pikirannya sendiri.
Dari Ibnu Abbas ra Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda…”Barangsiapa yg berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sendiri di dalam neraka” (HR.Tirmidzi)

Baiklah, pedahal dalam memaknai Al-Qur'an tersebut ada 17 Ilmu yang harus dikuasai agar bisa memahaminya dengan benar tidak serampangan, adalah sebagai berikut ;

1. Ilmu Mawathin al-Nuzul.
Yaitu ilmu yang menerangkan tempat-tempat turunnya ayat, masanya, awal dan akhirnya. Kitab yang membahas ilmu ini banyak. (Diantaranya ialah al-Itqan, tulisan al-Suyuthi)
2. Ilmu Tawarikh al-Nuzul.
Yaitu ilmu yang menerangkan dan menjelaskan masa turun ayat dan tertib turunnya, satu demi satu, dari awal turun hingga akhirnya, dan tertib turun surat dengan sempurna.

3. Ilmu Asbab al-Nuzul.
Yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab turun ayat. (Diantara kitab yang menjelaskan hal ini ialah Lubab al-Nazul karangan al-Suyuthi)

4. Ilmu Qira'at.
Yaitu ilmu yang menerangkan rupa-rupa Qira'at (bacaan al-Qur'an yang diterima dari Rasulullah SAW). (Seindah-indah kitab untuk mempelajari ilmu ini ialah kitab al-Nasyr Fi Qira'at al-Asyr, tulisan Ibnu Jazary)

5. Ilmu Tajwid.
Ilmu yang menerangkan cara membaca al-Qur'an, tempat mulai dan pemberhentianny­a, dan lain-lain yang berhubungan dengan itu.

6. Ilmu Gharib al-Qur'an.
Ilmu yang menerangkan makna kata-kata yang ganjil yang tidak terdapat dalam kitab-kitab biasa, atau tidak terdapat dalam percakapan sehari-hari. Ilmu ini menerangkan makna kata-kata yang halus, tinggi, dan pelik.

7. Ilmu I'rabil Qur'an.
Ilmu yang menerangkan baris al-Qur'an dan kedudukan lafal dalam ta'bir (susunan kalimat). Di antara kitab yang memenuhi kebutuhan dalam membahas ilmu ini ialah Imla al-Rahman, karangan Abdul Baqa al-Ukbary.

8. Ilmu Wujuh wa al-Nazhair.
Yaitu ilmu yang menerangkan kata-kata al-Qur'an yang banyak arti; menerangkan makna yang dimaksud pada satu-satu tempat. (Ilmu ini dapat mempelajari dalam kitab Mu'tarak alAqran, karangan al-Suyuthi)

9. Ilmu Ma'rifat al-Muhkam wa al-Mutasyabih.
Ilmu yang menyatakan ayat-ayat yang dipandang muhkam dan ayat-ayat yang dianggap mutasyabih. (Salah satu kitab mengenai illmu ini ialah al-Manzhumah al-Sakhawiyah, susunan Imam al-Sakhawy)

10. Ilmu Al-Nasikh wa Al-Mansukh.
Yaitu ilmu yang menerangkan ayat-ayat yang dianggap mansukh oleh sebagian mufassir. (Untuk mempelajari ilmu ini dapat dibaca kitab al-Nasikh wa al-Mansukh, susunan Abu Ja'far al-Nahhas dan al-Itqan karangan al-Suyuthi)

11. Ilmu Bada'i Al-Qur'an.
Ilmu yang membahas keindahan-keind­ahan Al-Qur'an. Ilmu ini menerangkan kesusasteraan Al-Qur'an, kepelikan-kepel­ikan dan ketinggian-keti­nggian balaghah-nya. (Untuk ini dapat juga dibaca kitab al-Itqan karangan al-Suyuthi)

12. Ilmu I'dazAal-Qur'an.
Yaitu ilmu yang menerangkan kekuatan susunan tutur al- Qur'an, sehingga ia dipandang sebagai mukjizat, dapat melemahkan segala ahli bahasa Arab. (Kitab yang memenuhi keperluan ini ialah I’jaz al-Qur'an, karangan al-Baqillany)

13. Ilmu Tanasub Ayat al-Qur'an.
Ilmu yang menerangkan persesuaian antara suatu ayat dengan ayat sebelum dan sesudahnya. (Kitab yang memaparkan ilmu ini ialah, Nazhmu al-Durar karangan Ibrahim al-Riqa'iy)

14. Ilmu Aqsam al-Qur'an.
Yaitu ilmu yang menerangkan arti dan maksud-maksud sumpah Tuhan atau sumpah-sumpah lainnya yang terdapat di dalam al-Qur'an.

15. Ilmu Amtsal al-Qur'an.
Ilmu yang menerangkan segala perumpamaan yang ada dalam al-Qur'an.(Kitab yang dapat dipelajari untuk ilmu ini antara lain Amtsal al-Qur'an karangan al-Mawardi)

16. Ilmu Jidal Al-Qur'an.
Ilmu untuk mengetahui rupa-rupa debat yang dihadapkan Al- Qur'an kepada kaum musyrikin dan lain-lain. Ayat-ayat yang mengandung masalah ini. (Dikumpulkan oleh Najamuddin al- Thusy)

17. Ilmu Adab al-Tilawah al-Qur'an.
Yaitu ilmu yang mempelajari segala bentuk aturan yang harus dipakai dan dilaksanakan di dalam membaca al-Qur'an. Segala kesusilaan, kesopanan dan ketentuan yang harus dijaga ketika membaca al-Qur'an. Salah satu kitab yang amat baik.

Sumber : YusufAl-Buchory Bin AL-Azhar in TASHOWWUF ILMU PENJAGA BATHIN DAN MANISNYA IBADAH dan diposting kembali oleh:Abdul Qodir Al-Busthomi III, MKub dalam kitab Al-Tibyan, karangan al-Nawawy)

Selasa, 27 September 2016

Mengenal Sejarah Asal Mula Adanya Ilmu Tajwid


Mengenal Sejarah Asal Mula Adanya Ilmu Tajwid

Asal kata Tajwid yaitu dari kata bahasa Arab “jawwada - yujawwidu- tajwiidan”  (جوَّدَ يجوِّد ، تجويدًا ، فهو مُجوِّد ، والمفعول مُجوَّد) berarti membuat sesuatu menjadi bagus. Di dalam beberapa buku tajwid disebutkan bahwa istilah ini muncul ketika seseorang bertanya kepada khalifah ke-empat, ‘Ali bin Abi Thalib tentang firman Allah yang berbunyi :

ورتل القرأن ترتيلا

Beliau menjawab bahwa yang dimaksud dengan kata tartil adalah tajwiidul huruuf wa ma’rifatil wuquuf, yang berarti membaca huruf-hurufnya dengan bagus (sesuai dengan makhraj dan shifat) dan tahu tempat-tempat waqaf. Selama ini memang belum ditemukan musnad tentang perkataan beliau mengenai hal di atas, dan kisah ini hanya terdapat dalam kitab tajwid. Akan tetapi para ulama’ bersepakat bahwa yang dimaksud dengan tartil adalah tajwiidul huruuf wa ma’rifatil wuquuf.

Untuk menghindari kesalahpahaman antara tajwid dan qiraat, maka perlu diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan tajwid. Pendapat sebagian ulama memberikan pengertian tajwid sedikit berbeda, namun pada intinya sama. Secara bahasa, tajwid berarti al-tahsin atau membaguskan. Sedangkan menurut istilah yaitu, mengucapkan setiap huruf sesuai dengan makhrajnya menurut sifat-sifat huruf yang mesti diucapkan, baik berdasarkan sifat asalnya maupun berdasarkan sifat-sifatnya yang baru.

Sebagian ulama yang lain medefinisikan tajwid sebagai berikut: “Tajwid ialah mengucapkan huruf(al-Quran) dengan tertib menurut yang semestinya, sesuai dengan makhraj serta bunyi asalnya, serta melembutkan bacaannya dengan sempurna mungkin tanpa berlebihan ataupun dibuat-buat”.

Kapan Ilmu Tajwid Mulai Ada ?

Jika ditanyakan kapan asal mula ilmu Tajwid, maka pada dasarnya ilmu ini telah ada sejak al-Quran diturunkan kepada Rasulullah SAW. Ini karena Rasulullah SAW sendiri diperintahkan untuk membaca al-Quran dengan tajwid dan tartil seperti yang disebut dalam

وَرَتِّلِ الْقُرْآَنَ تَرْتِيلًا

“Bacalah al-Quran itu dengan tartil (perlahan-lahan)”. (QS. Al-Muzammil 73 : 4)

Kemudian Rasulullah SAW mengajar ayat-ayat tersebut kepada para sahabat dengan bacaan yang tartil. Para sahabat menguasai semua itu seperti yang telah di ajarkan malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Diantaranya seperti Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit dan lain sebagainya.
.
Semua ini menunjukkan bahwa pembacaan al-Quran bukanlah suatu ilmu hasil dari ijtihad (fatwa) para ulama’ yang di olah berdasarkan dalil-dalil dari al-Quran dan Sunnah, tetapi pembacaan al-Quran adalah suatu yang taufiqi (diambil terus) melalui riwayat dari sumbernya yang asal yaitu sebutan dan bacaan Rasulullah SAW.

Akan tetapi bagaimanapun, yang dianggap sebagai penulisan ilmu tajwid yang paling awal adalah ketika adanya kesadana akan perlunya mushaf Utsmaniah yang ditulis oleh Sayyidina Utsman diberikan titik-titik pada huruf-hurufnya, kemudian baris-baris bagi setiap huruf dan pelafalannya. Gerakan ini diketuai oleh Abu Aswad Ad-Duali dan Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi, dimana ketika itu Khalifah umat Islam memiliki tugas  besar untuk hal ini disaat umat Islam mulai ada yang melakukan kekeliruan didalam bacaan.

Itu karena ketika masa Sayyidina Ustman, belum diberi titik-titik maupun harakat, sebab bertujuan memberi keleluasaan kepada para sahabat dan tabi’in pada masa itu untuk membacanya sebagaimana yang mereka telah ambil dari Rasulullah SAW, berdasarkan dengan dialek bangsa Arab yang beraneka ragam.

Tetapi setelah berkembang luasnya agama Islam ke seluruh tanah Arab serta takluknya Roma dan Persia ke tangan umat Islam pada tahun pertama dan kedua Hijrah, bahasa Arab mulai bercampur dengan bahasa penduduk-penduduk yang ditaklukkan umat Islam. Ini telah menyebabkan terjadinya beberapa kekeliruan didalam penggunaan bahasa Arab dan demikian juga dengan pembacaan al-Quran. Maka, al-Quran Mushaf Utsmaniah diberi tambahan titik-titik dan harakat pada huruf-hurufnya untuk menghidari kekeliruan-kekeliruan tersebut.

Permulaaan Pembukuan Ilmu Tajwid

Orang yang pertama kali menghimpun ilmu ini dalam bentuk kitab adalah Al-Imam al-‘Adhim Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam pada abad ke-3 Hijriyah didalam kitabnya “Kitabul Qiraa-at/  كتاب القراءات”. Sebagian ada yang mengatakan bahwa orang yang pertama mengarang dan menghimpun ilmu-ilmu qira-at adalah Hafsh bin Umar Ad-Duriy.

Adapun pada abad ke-4 Hijriyah, masyhur seorang imam bernama Al-Hafidz Abu Bakar bin Mujahid Al-Baghdadiy, ia merupakan orang yang pertama kali mengarang kitab mengenai bacaan 7 qira’at yang masyhur (Kitab al-Sab’ah). Ia wafat pada tahun 324 H.

Memasuki abad ke-5 Hijriyah, masyhur nama Al-Hafidz Al-Imam Abu ‘Amr Ustman bin Sa’id Ad-Dani, pengarang kitab Al-Taysir (التيسير) yang berisi tentang qira-at Sab’ah dan menjadi sandaran pada ahli Qurra’. Ia juga memiliki banyak karangan dalam bidang seni qiraat dan lainnya. Dimasa ini juga masyhur, seorang ulama bernama Al-Imam Makki bin Abi Thalib Al-Qaisi Al-Qairawani, ia mengarang bermacam-macam kitab tentang qira’at dan ilmu-ilmu Al-Qur’an.

Pada abad ke-6 Hijriyah, tampil seorang ulama yang menjadi rujukan tokoh-tokoh ulama yang sezaman dengannya maupun datang setelahnya, dengan karangannya bernama “Hirzul Amani wa Wajhut Tahani” atau terkenal dengan “Matan Syathibiyah”, berisi 1173 bait tentang qira-at sab’ah. Ia adalah Abul Qasim bin Fairah bin Khalaf bin Ahmad Ar-Ru’aini Al-Syathibi al-Andalusi, wafat pada tahun 590 H.

Setelah itu, banyak ulama yang menekuni bidang ini disetiap masa, menegakkan panji-panji al-Qur’an baik dengan membaca dan mengaplikasikannya, hingga akhirnya muncul tokoh penting dalam bidang ilmu tajwid dan qira-at yaitu Imamul Muhaqqiqin wa Syaikhul Muqri-iin Muhammad Ibnu Al-Jazari Al-Syafi’I dengan karangannya Al-Nasyr fil Qiraa-atil ‘Asyr, Thayyibatun Nasyr dan Ad-Duratul Mudhiyyah yang mempolopori bahwa ilmu qira-at ada 10, yaitu sebagai pelengkap apa yang telah dinyatakan oleh Imam al-Syathibi didalam kitab Hirzul Amani.

Imam Al-Jazari juga telah mengarang karangan yang berasingan bagi ilmu Tajwid dalam kitabnya “At-Tamhid” dan puisi beliau yang lebih terkenal dengan nama “Matan Al-Jazariah”. Imam Al-Jazari telah mewariskan karangan-karangannya yang begitu banyak berserta bacaannya sekali yang kemudiannya telah menjadi ikutan dan panduan bagi karangan-karangan ilmu Tajwid dan Qiraat serta bacaan al-Quran hingga ke hari ini. []

Minggu, 25 September 2016

Tafakur

Tertipunya Manusia.
Dia merasa bangga dg Sholatnya padahal dari takbir sampai dg Salam hanya kemunafikan yg dia ucapkan.
Dia Bangga dg merdu suaranya,fasih  bacaan Qurannya  padahal itu semua  sdh menjadi tanggungan Allah SWT.
Dia Bangga & bisa merasa suka cita mendengar Ayat" Allah padahal semua itu berisi Hukum,Perintah  & Teguran.
Dia bangga & Terkadang menyombongkan diri akan kebisaannya membaca,mencoret serta mengartikan Kitab padahal hanya sedikit yg diamalkannya.
Dia bangga dg penilaiannya terhadap orang lain padahal dia tdk siap dinilai.

Minggu, 18 September 2016

Istidraj

Al istidraj huwa Naklu darjatan bada uhro min uluwi ila aspal wabilaksi....
Ibadah mulai ti handap makin luhur makin yakin
Maksiat mulai ti luhur makin handap makin cilaka

Jumat, 16 September 2016

Mabadi nahwu 3

Sebelum kita mempelajari ilmu nahwu, kita disarankan untuk mengetahui terlebih dahulu Stadium General tentang ilmu nahwu tersebut. Dengan mengetahui Stadium general dari ilmu nahwu, baru kita akan mudah mempelajari ilmu nahwu. Tak kenal maka tak sayang, kenalan duru, baru mendalami, begitu kata pepatah. Is it right? Right wes,,,, 
Stadium general nahwu atau dikenal dengan Mabadi Ilmu Nahwu terklarifikasi menjadi 10 bagian, yaitu :

1.    Al Hadd (Definisi)    : Etimologi ; المثل والجهة والمقدار والقسم والبعض والقصد artinya contoh, jalan, ukuran, bagian, dan tujuan
Terminologi ; علمٌ بأصولٍ يعرفُ بها احوالُ اواخرِ الكلم اعرابًا وبنًاء,
artinya, ilmu yang fokus tujuannya adalah mempelajari keadaan/kondisi akhir kalimat bahasa arab baik berupa mu’rob, maupun mabni.
2.    Maudhu (Sasaran, Fokus): Fokus utama ilmu nahwu adalah kalimat arabiyyah dengan batasan berupa mempelajari keadaan-keadaannya (ahwalnya).
3.    Tsamroh (Hasil, Manfaat) : Hasil yang akan diperoleh ketika kita berhasil menguasai ilmu nahwu yaitu, kita akan terbebas dari kesalahan dalam memahami Al-Qur’an dan Hadits (lebih tepatnya meminimalisir kesalahan, karena hakikat dari manusia itu sendiri).
4.    Fadhol (Keutamaan)    : Keutamaan dari ilmu nahwu sendiri adalah Lebih unggul dari berbagai Ilmu, karena tanpa ilmu nahwu, kita tidak dapat mempelajari ilmu lainnya (dalam hal ini yang berkaitan dengan ilmu-ilmu berbahasa arab)
Syekh Imrithi dalam kitabnya bernadzom,

والنَّحْوُ اَوْلَى أوَّلاً اَنْ يُعْلمَا      *    اِذِ الكلامُ دُوْنَهُ لنْ يفهما
       
Ilmu Nahwu adalah ilmu yang harus pertama kali dipelajari, karena tanpa nahwu, kita tidak akan bisa memahami kalam araby

5.    Nisbat (Hubungan)    : Hubungan Nahwu dengan Ilmu lain adalah Tabayyun, yaitu Berbeda satu sama lain, dalam artian Ilmu nahwu dan ilmu lain(contohnya Shorof) mempunyai perbedaan yang mutlak (Tabayyun Umum Khusus min Ithlaq), karena mempunyai batasan-batasan tersendiri dalam pembahasannya.
6.    Wadhi’ (Author, Pencetus) : Pencetus Ilmu Nahmu sendiri adalah “Abu Aswad Addauli”, pada masa Sayyidina Ali (Kisahnya ntar di artikel selanjutnya ya...).
7.    Istimdad (Sumber) : Sumber lahirnya ilmu nahwu ini berasal dari Al-Qur’an dan Hadits. (Hakikatnya, semua ilmu yang ada di dunia ini berasal dari Al-Qur’an dan Hadits)
8.    Ism (Nama)    : Nama ilmu ini adalah Ilmu Nahwu (Kisahnya ntar diartikel selanjutnya ya...)
9.    Hukum (Justifikasi) : Hukum mempelajari ilmu Nahwu adalah Fardhu Kifayah (Ketika sudah ada yang menguasai ilmu nahwu dalam suatu daerah secara matang, maka gugur ke fadhuan orang lain untuk mempelajari ilmu nahwu. Hukumnya menjadi sunnah).
10.    Masa’il (Mas’alah) : Mas’alah ilmu nahwu sendiri adalah Qowaid-qowaid ilmu nahwu itu sendiri.

Nadzom Mashur mengenai Mabadi
إنّ مَبَادِيَ كُلّ فَنٍّ عَشَرَة             *         الحَدُّ وَالمَوْضُوْعُ ثمّ الثـّمْرَة 
وَالإسْمُ الإسْتِمْدَادُ حُكْمُ الشّاَرِعُ    *           وَفَضْلُهُ والنِّسْبَةُ وَالوَاضِعُ
مَسائِلٌ والبَعْضُ بِالبَعْضِ اكْتَفَ      *    وَمَنْ دَرَى الجَمِيْعَ حَازَ الشّرَفَا   
Mabadi dari setiap cabang ilmu (fan) ada 10, yaitu Had, Maudhu, Tsamroh, Fadhol, Nisbat, Wadhi’, Ism, Istimdad, Hukum, dan Masa’il. Masa’ilnya cukup dikuasai sebagian saja, namun lebih baik bila menguasai sedalam-dalamnya.

Setelah kita mengetahui mabadi dari ilmu nahwu tersebut, kita bisa memposisikan diri dalam memandang dan mempelajari Ilmu tersebut. Selamat Belajar....!!!



Nantikan Artikel Selajutnya,,,,

Sumber    : Mas’alah Jurumiyyah Pondok Pesantren Baitulhikmah Haurkuning Salopa Tasikmalaya 46192 Jawa Barat